Bela Petani Lampung, Pendeta Sugiyanto Ditangkap Polisi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) mengecam penangkapan terhadap Pendeta Sugiyanto oleh aparat Kepolisian, pada tanggal 12 Oktober 2016 lalu, pukul 00.30 WIB di sekretariat bersama KPRI di Jakarta.
Sekretaris Dewan Pimpinan Nasional (DPN) KPRI, Anwar Ma’ruf, yang sedang berada di Vietnam, mengatakan KPRI sedang melakukan advokasi untuk membebaskan Pendeta Sugiyanto dengan bekerja sama berbagai pihak di Jakarta dan di Lampung.
"Kami sedang lakukan advokasi. Kerja sama dengan berbagai jaringan, baik yang di pusat maupun di daerah (Lampung)," kata Anwar Ma’ruf kepada satuharapan.com melalui pesan singkat, hari Sabtu (15/10) malam.
Menurut informasi, Pendeta Sugiyanto adalah pendeta dari Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan (GKSBS)
Sementara itu, Ketua DPN KPRI Chabibullah yang sedang berada di Yogyakarta mengatakan, KPRI tidak terima apabila Pendeta Sugiyanto dikatakan sebagai penghasut oleh pihak aparat keamanan.
"Kita keberatan dengan sebutan penghasut oleh pihak keamanan," kata Chabibullah dalam pesan singkat kepada satuharapan.com, hari Sabtu (15/10) malam.
Chabib menjelaskan, setelah ditangkap oleh aparat kepolisian, Pendeta Sugiyanto langsung dibawa ke Lampung dan ditahan di Polres Tulang Bawang. Menurut dia, KPRI telah melakukan pendampingan hukum kepada Pendeta Sugiyanto dengan melibatkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lampung dan lembaga lainnya.
"Sekarang sudah di Lampung. Ya sehari (setelah ditahan) kemudian dibawa ke Lampung. Pendeta Sugiyanto ditahan di Polres Tulang Bawang," kata Chabib.
"Pendampingan hukum sedang berjalan oleh LBH Lampung, AJI, dan jaringan di Lampung," dia menambahkan.
Ketika satuharapan.com mencoba menanyakan kabar terakhir Pendeta Sugiyanto, menurut perwakilan Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU) Konfederasi Serikat Nasional (KSN) Joko yang berada di Lampung, kondisi terakhir hari Jumat (14/10) Pendeta Sugiyanto dalam keadaan sehat.
"Kemarin (Jumat) sehat. Hari ini belum ke sana (Polres Tuba)," kata Joko dalam pesan singkat juga.
Kronologis
Sebelumnya dalam siaran pers, KPRI menyesalkan penangkapan terhadap aktivis-aktivis gerakan rakyat oleh pihak kepolisian yang kembali terjadi. Menurut KPRI, penangkapan tersebut sering kali disebabkan karena para aktivis tersebut membela kepentingan rakyat dan berhadap-hadapan dengan pihak korporasi atau pemilik modal.
Chabib menjelaskan, penangkapan Pendeta Sugiyanto tersebut terjadi di sekretariat bersama KPRI di Jakarta, pada tanggal 12 Oktober 2016 lalu, pukul 00.30 WIB.
Sekitar 15 aparat kepolisian berpakaian preman yang berasal dari Polres Tulang Bawang, Lampung menangkap Pendeta Sugiyanto karena diduga telah menghasut petani untuk melawan PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL).
Sebelum penangkapan, pada tanggal 11 Oktober 2016 pukul 19.00 WIB, Pendeta Sugiyanto bersama petani lainnya datang ke sekretariat bersama KPRI untuk mendiskusikan duduk perkara kasus yang terjadi di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung.
Namun diskusi tersebut belum terjadi karena para pengurus dan pimpinan nasional KPRI sedang menggelar rapat rutin hingga terjadinya penangkapan oleh aparat kepolisian.
"Bagi pimpinan nasional KPRI, penangkapan terhadap Pendeta Sugiyanto tersebut tentu saja mengejutkan karena sebelumnya tidak pernah diketahui bahwa Pendeta Sugiyanto sedang dalam target operasi oleh pihak kepolisian," kata Chabib.
KPRI mengecam penangkapan terhadap Pendeta Sugiyanto, yang selalu mendampingi Serikat Tani Korban Gusuran PT BNIL, oleh aparat kepolisian.
Menurut siaran pers KPRI, Pendeta Sugiyanto dijadikan tersangka karena peristiwa bentrokan, pada tanggal 1 Oktober 2016, antara massa Serikat Tani Korban Gusuran PT BNIL dengan petugas pengamanan Swakarsa, di areal pendudukan lahan oleh warga di PT BNIL Kabupaten Tulang Bawang, Lampung.
"Peristiwa penangkapan ini sendiri menunjukkan bahwa upaya kriminalisasi terhadap aktivis-aktivis gerakan rakyat masih terus berlangsung," kata Chabib.
Konflik Berkepanjangan
Perselisihan antara warga Tulang Bawang dengan PT. BNIL itu sendiri merupakan konflik yang sangat panjang, yakni dimulai pada tahun 1993. Menurut siaran pers KPRI, ketika itu lahan milik warga dirampas secara paksa PT. BNIL untuk menjadi lahan tebu.
Menurut versi KPRI, PT. BNIL bersama aparat TNI dan kepolisian saat itu memaksa warga untuk menjual lahannya kepada PT. BNIL dan hanya diberikan uang ganti rugi sebesar Rp 100.000.
Pada tahun-tahun berikutnya, warga kembali dipaksa untuk menyerahkan lahannya melalui transaksi jual beli dengan disertai ancaman, intimidasi dan kekerasan. Sejak konflik tersebut muncul di tahun 1990-an, peristiwa tersebut telah mengakibatkan meninggalnya sembilan korban jiwa.
Chabib mengatakan, untuk permasalahan tersebut, warga telah mengadukan kasusnya ke Komnas HAM terkait pelanggaran pendudukan lahan mereka oleh PT. BNIL. Dari 6.500 hektare lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT. BNIL tersebut, masyarakat hanya memperoleh relokasi seluas 3.000an hektare.
Pada September 2016, sekitar 2000-an petani di Tulang Bawang melakukan aksi pendudukan lahan perkebunan tebu PT. BNIL untuk melakukan perlawanan. Para petani yang tergabung dalam Serikat Tani Korban Gusuran PT. BNIL tersebut mendirikan tenda-tenda di sekitar areal perkebunan. Namun pada tanggal 1 Oktober 2016 lalu, aksi pendudukan lahan oleh petani Tulang Bawang didatangi Pamswakarsa dan kemudian memprovokasi warga hingga terjadi bentrokan.
Peristiwa bentrokan tersebut mengakibatkan puluhan tenda terbakar dan belasan kendaraan roda dua hangus terbakar. Sebuah traktor juga turut terbakar beserta mobil yang diduga milik PT BNIL hancur.
"Dari peristiwa ini, POLDA Lampung kemudian mengerahkan empat kompi pasukan untuk menyerang warga yang masih menduduki lahan dan kemudian menangkap 12 orang petani serta menjadikan sejumlah aktivis yang mendampingi warga sebagai target operasi, termasuk salah satunya Pendeta Sugiyanto," kata Chabib.
Menurut KPRI, penangkapan terhadap Pendeta Sugiyanto dapat dimaknai sebagai salah satu upaya memberikan perlindungan kepada PT BNIL yang jelas-jelas memang telah melanggar peraturan di Indonesia, serta merampas hak rakyat.
"Maka dari itu, kami dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia menyatakan sikap mengecam tindakan penangkapan terhadap Pendeta Sugiyanto dan bebaskan Pendeta Sugiyanto dari seluruh sangkaan serta tuntutan karena sesungguhnya yang dilakukan Pendeta Sugiyanto merupakan upaya membela hak-hak rakyat," kata pernyataan sikap KPRI yang dikeluarkan pada 13 Oktober 2016. .
KPRI juga mengecam upaya-upaya kriminalisasi terhadap seluruh aktivis gerakan rakyat di Indonesia dan berharap ada kekuatan politik alternatif dengan membentuk partai politik dari gerakan rakyat untuk mewujudkan daulat rakyat yang adil, setara dan sejahtera.
"Bangun persatuan dan solidaritas seluruh elemen rakyat untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia," tulis pernyataan itu.
Editor : Eben E. Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...