Belajar dari Kasus Hukuman Mati
Terpidana mati yang tidak menunjukkan penyesalan, apalagi malah mengorganisasi kejahatan dari dalam penjara, maka hukuman mati merupakan pilihan.
SATU HARAPAN.COM – Reyhaneh Jabbari, wanita Iran, dihukum gantung karena dituduh membunuh Morteza Abdolali Sarbandi—seorang pria, mantan pejabat intelijen yang berusaha memperkosanya—dengan menggunakan pisau lipat. Wanita kelahiran 1988 itu menyangkal membunuhnya. Ia yakin bahwa Sarbani dibunuh orang lain setelah memperkosanya. Eksekusi Jabbari dilakukan karena keluarga Sarbandi tidak bersedia memaafkan dan menerima ganti rugi.
Peristiwa itu terjadi pada 2007. Keputusan pelaksanaan hukuman mati kepada Jabbari diberikan hakim pada akhir September 2007, sedangkan eksekusi hukumannya dilaksanakan Sabtu, 25 Oktober 2014. Itu berarti Reyhaneh Jabbari telah dipenjara selama tujuh tahun.
Keputusan hakim tersebut telah diprotes Amnesty International karena penyelidikan dan pengadilannya dianggap penuh kelemahan. Amnesty Internasional mengirimkan petisi yang didukung oleh 200.000 tanda tangan yang mengecam putusan pengadilan. Namun, petisi ini hanya mampu menunda sementara eksekusi Jabbari yang seharusnya dilakukan April 2014. Kelompok-kelompok HAM sebelumnya mendesak agar pemerintah menghentikan eksekusi, karena dikawatirkan pembunuh yang sebenarnya masih berkeliaran. Kalau benar demikian, bagaimana bisa pemerintah Iran mengembalikan nyawanya?
Soal hidup mati merupakan hak prerogatif Allah. Itulah alasan mengapa Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menolak hukuman mati. Bukankah kita juga berjuang keras untuk membebaskan TKI dan TKW yang terancam eksekusi mati—pancung dan gantung—di luar negeri? Pemerintah mana pun akan berjuang demi menunda dan membebaskan warganya yang terancam hukuman mati.
Menempatkan diri pada posisi terpidana, keluarga, atau bangsanya merupakan sikap yang bijak. Bagaimana tidak? Bila terpidana tersebut hanya korban salah tangkap yang terpaksa mengaku karena tidak tahan siksa, atau melakukannya demi membela diri, tetapi kemudian menyesali diri. Hukuman mati—yang tidak menghasilkan perubahan kualitas hidup dan lebih bernuansa balas dendam ketimbang memaafkan—lebih baik dihentikan. Tunda eksekusi, biarkan mati sendiri!
Sedang terpidana mati yang tidak menunjukkan penyesalan, apalagi malah mengorganisasi kejahatan dari dalam penjara, maka hukuman mati merupakan pilihan.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...