Belajar dari Kasus India: Tidak Mudik
SATUHARAPAN.COM-Januari lalu pemerintah India membanggakan diri sebagai model negara yang sukses mengatasi pandemi COVID-19. Perdana Menteri Narendra Modi mengumumkan kemenangan atas virus corona, mengatakan pada pertemuan virtual Forum Ekonomi Dunia bahwa kesuksesan India tidak dapat dibandingkan dengan kesuksesan di tempat lain.
Namun hari-hari ini kita menyaksikan kepanikan luar biasa yang terjadi di negara itu di mana jumlah kasus COVID-19 melonjak, bahkan sampai lebih dari 300.000 dalam sehari. Dan Lebih dari 2.000 orang mati karena COVID-19 setiap hari. Pelayanan rumah sakit hampir di seluruh India kewalahan dengan banyaknya pasien, dan mengalami kekurangan oksigen.
India negara yang berpenduduk sekitar 1,4 miliar jiwa itu telah mencatat 17,3 juta orang yang terinfeksi COVID-19, dan ini data dari pemerintah, ada kemungkinan angkanya jauh lebih tinggi. India menggeser posisi Brasil, sehingga berada di uturan kedua dalam jumlah kasus dan kematian COVID-19, setelah Amerika Serikat.
Dalam masalah pandemi COVID-19, India termasuk yang agresif melakukan pengujian, dan dalam vaksinasi India termasuk yang juga gencar melakukan kampanye. Di seluruh dunia, sudah lebih dari satu miliar vaksin disuntikkan, dan India termasuk ketiga terdepan dengan 138,4 juta dosis yang sudah disuntikkan, di belakang Amerika Serikat dan China.
Apa Penyebab Lonjakan Kasus di India?
Berbagai pendapat mengungkapkan bahwa India terlalu cepat berpuas diri, ketika mulai mencatat penurunan kasus COVID-19 di awal tahun ini. Hal itu kemungkinan yang membuat pemerintah dan warga lengah tehadap pandemi ini yang masih berpotensi untuk meningkat menjadi gelombang ketiga yang parah.
Di banyak negara gelombang kedua pandemi juga menunjukkan situasi yang lebih parah dari gelompang pertama, ditambah dengan ditemukannya varian baru yang diduga lebih menular. Dan hal itu yang membuat banyak negara masih berhati-hati untuk menyatakan telah mengatasi pandemi. Karena khawatir munculnya gelombang ketiga.
Bahkan sekarang sejumlah negara kembali memberlakukan penguncian, seperti di Jepang dan Turki, setelah melihat ada tanda-tanda kenaikan kasus dan ancaman gelombang ketiga mulai terlihat.
Mengapa India yang program vaksinasinya termasuk cepat bisa mengalami lonjakan jumlah kasus yang membuat kepanikan yang luas. India sekarang membutuhkan pertolongan negara lain dan banyak negara yang telah menawarkan bantuan.
Namun demikian, lonjakan jumlah kasus di India diperkirakan terkait dengan festival keagamaan dan kampanye pemilihan umum di negara itu. Umat Hindu di India merayakan festival Holi hingga 16 hari dalam keramaian yang membentuk kerumunan besar. Festival ini berlangsung pada 29 Maret lalu.
Sebelumnya pada 10 Maret diselenggarakan festival Mahakumbh di kalangan penganut Hidu dengan mandi di Sungai Gangga. Acara ini berlangsung dalam beberapa hari dan membentuk kerumunan besar.
Pemerintah telah mengingatkan bahwa kegiatan dengan kerumunan besar itu akan memicu lonjakan jumlah kasus COVID-19, dan tanda-tanda itu telah terlihat, ketika India mulai mencatat lebih dari 50.000 kasus bari dalam sehari, termasuk yang ditemukan di kerumunan itu.
Selain itu, kampanye pemilihan umum di India juga menjadi acara yang menimbulkan kerumunan juga, dan tampaknya pada acara-acara itu, protokol kesehatan, memakai masker, jaga jarak, dan menghindari keurumunan, banyak diabaikan.
Larangan Mudik di Indonesia
Belajar dari kasus di India, Indonesia cepat-cepat memutuskan larangan mudik Lebaran 2021 dari tanggal 6 hingga 17 Mei. Namun kemudian diperpanjang sehingga larangan itu berlaku pada 22 April hingga 24 Mei.
Mudik dan perayaan Idul Fitri memang berpotensi membentuk kerumunan dalam acara silaturahmi kerabat, dan ini biasa terjadi di Indonesia, negara dengan penduduk mayoritas Muslim pada masa sebelum pandemi. Dan untuk mencegah itu, agar tidak terjadi seperti di India, keluarlah larangan mudik. Kasus hari COVID-19 di Indonesia memang menunjukkan penurunan, danangkanya masih sekitar lima ribu atau enam ribu setiap hari. Namun kita memang tidak boleh cepat puas, sehingga kendor dalam menerapkan protokol kesehatan.
Keputusan ini juga didasarkan pada pengalaman Indonesia sendiri, di mana setiap ada libur panjang, kemudian diikuti dengan kenaikan jumlah kasus baru. Jika ini tidak menjadi pembelajaran, pandemi ini akan menjadi panjang, dan kemungkinan makin buruk.
Dalam hal ini, Indonesia tidak sendirian. Turki, baru saja mengumumkan penguncian penuh pada 29 April hingga 17 Mei. Alasannya sama dengan Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduknya Muslim. Turki melihat bulan puasa dan Idul Fitri di mana ada kebiasaan pertemuan keluarga dan kegiatan dalam kerumunan, sehingga berpotensi menjadi ajang penularan virus corona.
Menyepelekan Pandemi
Oleh karena itu, kepanikan di India, cukup terjadi di sana, dan negara-negara lain sedang gencar membantu agar India segera keluar dari krisis ini. Sebab, sekarang dunia mengakui bahwa pandemi tidak akan berakhir sebelum seluruh dunia bisa mengatasinya.
Dan satu hal yang tampaknya harus diingat adalah untuk tidak menyepelekan pandemi ini. Faktanya sekarang sudah lebih dari tiga juta orang meninggal akibat COVID-19, dengan 12.000 orang mati setiap hari. Dan Sekitar 150 juta orang telah terinfeksi virus ini. Kerugian secara ekonomi sudah sangat berat bagi hampir seluruh dunia.
Kasus India tampaknya juga menunjukkan bahwa tiga negara dengan situasi paling parah akibat pandemi ini, pernah menyepelekan COVID-19. Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menyepelekan pandemi ini, bahkan menolak mengenakan masker, menjadikan negara ini paling parah dilanda pandemi. Kemudian Brasil, di mana presidennya, Jeir Bolsonaro, pernah mengatakan COVID-19 hanya seperti flue biasa.
Dan sekarang India tengah membayar dari terjadinya kerumunan besar yang mengabaikan protokol kesehatan, dan terlalu cepat puas menganggap diri telah menang melawan virus corona.
Bagi Indonesia, libur Ramadhan dan Idul Fitri bisa menjadi unjian dalam melawan COVID-19: apakah kita menyepelekan pandemi ini atau serius mengatasinya dengan kekompakan sebagai bangsa.
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...