Paskah, COVID-19, dan Teror
SATUHARAPAN.COM-Perayaan Paskah tahun 2021 ini merupakan yang kedua kali bagi umat Kristen menjalankannya dalam suasana pembatasan akibat pandemi COVID-19. Gereja-gereja menyelenggarakan ibadah selama Pekan Suci, dimulai dengan Minggu Palma pada hari Minggu (28/3) hingga Minggu Paskah pada hari Minggu (4/4) nanti dengan membatasi jumlah jemaat yang bisa hadir, karena menjalankan protocol kesehatan, terutama menjaga jarak sosial.
Umat banyak yang mengikuti ibadah melalui layanan online, dan hal ini hampir menjadi hal rutin selama setahun pandemi ini. Hal itu dilakukan untuk mencegah COVID-19 menyebar semakin luas, dan agar pandemi ini segera berakhir.
Namun ada hal yang mengagetkan juga bahwa dalam Pekan Suci ini, kita harus menyaksikan serangan bom bunuh diri yang dilakukan pasangan suami-istri di Gereja Katedral di Makassar, Sulawesi Selatan, pada hari MInggu (28/3). Pandemi sendiri telah menjadi masalah bagi umat dalam upaya memelihara dan menumbuhkan iman melalui keterlibatan dalam ibadah di gereja, dan kali ini ditambah dengan teror yang menyasar ke rumah ibadah. Bahkan, markas besar Polri juga menjadi sasaran serangan teror pada hari Rabu (31/3).
Paskah dan Solidaritas pada Sesama
Merujuk tema Paskah 2021 yang dikeluarkan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI): “Berpaling Kepada Sang Hidup” yang diambil dari Injil Yohanes 20:14-16, Paskah kali ini benar-benar menghadapkan kita pada pandangan dan perenungan yang mendalam tentang memaknai hidup dan mati.
Sebagaimana Paskah sendiri adalah kisah kematian (penyaliban) yang merupakan bagian dari rencana besar untuk kehidupan manusia; dosa menggiring manusia kepada kematian, dan penyaliban, kematian itu, terjadi untuk mengakhiri kuasa kematian, agar manusia kembali menemukan kehidupan.
Ketaatan umat dengan menerima vaksinasi dan menjalankan protokol kesehatan, bahkan dengan terpaksa tidak menghadiri ibadah di gereja, adalah sebuah pengorbanan untuk menghargai kehidupan. Bahkan itu barang kali hanyalah pengorbanan kecil, memanggul salib kecil saja, jika dibandingkan dengan peristiwa Paskah sesungguhnya yang berkorban untuk kehidupan seluruh umat manusia.
Situasi pandemi menempatkan kita berhadapan pada kekuatan kematian oleh virus yang tidak kasat mata. Kita bisa tak sengaja ikut menyebarkan virus. Namun kekuatan kematian oleh virus itu menjadi berlipat ganda dan lebih mengerikan, jika perilaku kita kurang peduli pada solidaritas dan dan kasih pada sesama. Kita yang sembrono dengan protokol kesehatan, pada dasarnya menjadi bahaya bagi kehidupan dan sesama.
COVID-19 tidak cukup dilawan dengan vaksin, tetapi juga dengan disiplin protokol kesehatan. Apalagi, virus mamatikan ini memiliki kemampuan untuk bermutasi dan menjadi lebih menular dan mematikan. Mengakhiri pandemi membutuhkan sikap dan perilaku mengasihi manusia dan kehidupan. Paskah semestinya menyuburkan solidaritas dan kasih pada sesama di tengah berbagai kesulitan ini.
Kehidupan atau Kematian
Kasus serangan teror bom bunuh diri dan serangan teror lainnya yang pernah dialami bangsa ini dan di berbagai negara, menjadi representasi sikap dan pemikiran yang antagonistik dengan pesan Paskah; bukanya menghargai, memaknai dan mensyukuri kehidupan, tetapi justru sebaliknya memilih jalan kematian, apapun ideologi di balik serangan teror itu.
Ini memang menjadi terasa sangat ironis, ketika umat tengah merayakan bagaimana Tuhan “merendahkan diri” untuk memulihkan kehidupan manusia, karena memandang kehidupan manusia itu berharga, kita harus diserang oleh upaya menakut-nakuti dengan “memuja” kamatian.
Situasi ini haruslah menyadarkan kita bahwa di tengah-tengah kita ada orang-orang yang memilih jalan kematian, sementara Tuhan, Sang Pencipta adalah Tuhan Kehidupan. Dan lagi, ini terjadi dalam suasana ketika kita diajak untuk berpaling pada Sang Hidup.
Kita harus mengakui dan mulai melakukan upaya mengatasinya, bahwa kita sekarang harus hidup di tengah virus corona yang mematikan, dan juga di antara orang-orang yang telah “tercuci otaknya” sehingga memilih jalan kematian, dan kebencian pada kehidupan sesama manusia. Dua kekuatan kematian yang sedang kita hadapi.
Apapun motivasinya, teroris ini adalah masalah ideologi, adalah cara orang melihat orang lain, yang sebenarnya adalah sesamanya. Mereka memilih untuk melihat orang lain yang berbeda sebagai musuh, harus dibenci, dan kehidupan mereka tidak berharga.
Jika COVID-19 kita hadapi dengan menyuntikkan vaksin dan menjalani kehidupan dengan disiplin pada protokol kesehatan, virus teror ini harus diatasi dengan menyuntikkan vaksin ideologi juga, yaitu ideologi yang menghargai kehidupan, yang melihat orang lain sebagai sesama dalam toleransi dan kerja sama untuk kebaikan uamat manusia.
Namun vaksin ideologi ini juga tidak cukup hanya “disuntikkan” dalam ceramah, perdebatan yang berhenti di wacana, itu harus disertai dengan menjalankan protokol pergaulan yang sehat, dalam tata kehidupan pergaulan antar manusia: melihat orang lain sebagai sesama dengan solidaritas dan tolerasi, dan menghargai kehidupan.
Semoga pada momentum Paskah 2021 ini kita menemukan makna kehidupan dan menghargai kehidupan sesama manusia. Selamat merayakan Paskah untuk umat Kristen, dan selamat “Merayakan Kehidupan bagi Kita Semua.”
Editor : Sabar Subekti
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...