Belajar dari Negara Lain untuk Pengembangan Energi Terbarukan
JAKARTA,SATUHARAPAN.COM – Indonesia, merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap batubara dan bahan bakar fosil lainnya. Sampai akhir 2015, hanya sekitar 5 persen dari kebutuhan listrik Indonesia yang sudah dipenuhi dari sumber energi terbarukan, demikian menurut Arif Fiyanto juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace yang dikutip dari greenpeace.org. pada Kamis (7/1)
Afif menambahkan, hambatan dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia bukanlah masalah teknologi atau keekonomian, tetapi lebih pada masalah sosial dan politik.
Terutama sekali pada paradigma pengambil kebijakan negeri ini yang menganggap energi terbarukan masih mahal dan hanya cocok diterapkan di negara-negara maju seperti negara-negara Skandinavia dan Eropa Barat. Sedangkan bagi negara berkembang seperti Indonesia, batubara dan bahan bakar fosil lainnya masih merupakan pilihan yang tepat. Jelas ini merupakan paradigma yang keliru dan harus diluruskan.
Tren global saat ini, sedang mengarah pada peralihan sumber energi fosil ke energi terbarukan. Negara-negara berkembang saat ini sedang ramai mengembangkan energi terbarukan dengan target yang cukup ambisius. Pemerintah dan para pengambil kebijakan di negeri ini bisa mencontoh lima negara, berikut ini
Kosta Rika, negara yang terletak di kawasan Amerika Tengah, merupakan salah satu negara di dunia yang paling maju pemanfaatan energi terbarukannya. Saat ini sekitar 98 persen dari kebutuhan energinya telah dipenuhi oleh sumber-sumber energi terbarukan seperti air, angin dan panas bumi. Pada tahun 2015, Kosta Rika mencatatkan rekor dimana negeri ini mampu memenuhi 100 persen kebutuhan energinya selama 94 hari berturut-turut. Costa Rican Institute Electricity (ICE), Institusi semacam PLN di negeri itu, menargetkan pada tahun 2025. Kosta Rika, akan menjadi negara pertama di dunia yang seluruh kebutuhan energinya akan dipenuhi oleh sumber-sumber energi terbarukan seperti panas bumi, angin, dan air.
Afganistan, merupakan salah satu negara, yang serius mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan bagi pemenuhan kebutuhan listrik untuk sekitar 30 juta orang populasinya. Perpecahan yang terjadi di negara ini, baik secara politik maupun geografis, ironisnya, membuka jalan bagi pengembangan energi terbarukan yang terdesentralisasi, karena sangat berisiko untuk membangun pembangkit listrik skala besar yang terpusat, di negara yang berkonflik seperti Afganistan. Saat ini, belasan ribu rumah tangga di bagian utara negeri ini, memenuhi kebutuhan listriknya dengan potensi sumber energi terbarukan yang tersedia di wilayah mereka masing-masing, terutama energi surya, angin dan mikro hidro.
Uruguay, pada Konferensi Perubahan Iklim Paris bulan lalu, Uruguay membuat terkesan hampir seluruh negara-negara di dunia, dengan mengumumkan, saat ini mereka telah memenuhi kebutuhan listrik negeri itu sebesar 94,5 persen dari sumber-sumber energi terbarukan, dan hal itu dapat mereka capai dalam waktu kurang dari 10 tahun. Uruguay memanfaatkan secara maksimal hampir seluruh potensi sumber energi terbarukan yang terdapat di negeri itu, mulai dari mikro hidro, angin, biomassa, dan surya. Hal yang paling mengesankan dari pencapaian Uruguay adalah, mereka mencapai semua itu tanpa subsidi dari pemerintah atau membebankankan harga listrik yang tinggi bagi konsumen. Selain itu, pencapaian besar Uruguay ini juga sama sekali tidak membutuhkan keajaiban teknologi dan kebijakan ekonomi yang rumit, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sama sekali tidak dibutuhkan, dan telah lebih dari dua dekade Pembangkit Listri Tenaga Air (PLTA) skala besar tidak dibangun di negeri yang terletak di kawasan Amerika Selatan itu. Menurut Ramon Mendez, Kepala Kebijakan Perubahan Iklim Uruguay, kunci keberhasilan dari Uruguay adalah, proses pengambilan kebijakan yang jelas, iklim regulasi yang mendukung pengembangan energi terbarukan, dan kemitraan yang kuat antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Tiongkok, polusi udara yang sangat parah akibat pembakaran batubara di pembangkit listrik-pembangkit listrik di Tiongkok, menjadi pemicu utama bagi perubahan radikal dalam kebijakan pemenuhan energi di negara dengan populasi terbanyak di dunia ini. Para pemimpin di Tiongkok menyadari pertumbuhan ekonomi yang mereka nikmati, dibangun dengan mengorbankan kesehatan ratusan juta rakyatnya. Sejak tahun 2013, Tiongkok mulai mengurangi dan membatasi penggunaan batubara, dan beralih ke penggunaan sumber-sumber energi terbarukan bagi pemenuhan kebutuhan listrik rakyat dan industri di negeri itu.
Tiongkok menargetkan pada tahun 2030, 20 persen dari total konsumsi energi negeri itu akan dipenuhi oleh energi terbarukan. Pada tahun 2014, Tiongkok berinvestasi sekitar 90 Miliar dolar Amerika (R0 1, 2 triliun)bagi pengembangan energi bersih. Rekor investasi yang membuat investasi-investasi negara lain di sektor ini nampak sangat kecil.
-India, Perdana Menteri Narendra Modi di India menargetkan akan membangun 175 Gigawatt pembakit listrik bersumber energi terbarukan pada tahun 2022, dimana 100 Gigawatt diantaranya, akan dihasilkan dari energi surya. Dengan dukungan kebijakan dan perubahan paradigma para pengambil kebijakannya, maka India yakin akan mencapai target ambisiusnya.
Contoh dari 5 negara di atas, menunjukkan secara jelas hal terpenting yang dibutuhkan bagi pengembangan energi terbarukan, bukanlah masalah teknologi atau keekonomian, tetapi lebih pada dukungan kebijakan, visi pemimpinnya, dan perubahan paradigma para pengambil kebijakan energi di negeri itu.
Editor : Bayu Probo
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...