Belajar dari Sakit
Lupus mengubah hidup saya menjadi lebih baik.
SATUHARAPAN.COM – Kesehatan adalah hal yang selalu dikejar manusia dari segala zaman. Waras jiwa dan waras tubuh pada saat yang bersamaan. Kalau bisa, bagaimana caranya tidak jatuh sakit. Manusia menerapkan pola hidup sehat, memperhatikan angka kecukupan gizi yang direkomendasikan dokter, menjauhi stres, mengasuransikan kesehatannya. Ya, kesehatan diprioritaskan, dan sakit-penyakit menjadi public enemy. Ini berlaku untuk semua jenis penyakit, baik yang disebabkan faktor genetik, perubahan lingkungan, dan kecerobohan gaya hidup. Sakit-penyakit dianggap membebani secara fisik, emosi dan finansial. Sakit-penyakit dipandang menghalangi keluwesan beraktivitas.
Namun kenyataannya, sakit-penyakit itu tetap ada. Kalau memang jatahnya kita jatuh sakit, mau tidak mau kita harus menerimanya. Lalu apakah kalau sudah sakit kita harus mengeluh dan marah? Nah, pada bagian ini kita harus menyikapinya secara dewasa. Menurut hemat saya, orang perlu sesekali jatuh sakit. Sakit-penyakit turut ambil bagian dalam babak kehidupan manusia dan tentu punya faedah.
Beberapa minggu lalu kantor saya menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah. Segenap panitia mengakui bahwa program ini benar-benar melelahkan. Beberapa narasumber dan panitia mulai jatuh sakit karena kelelahan fisik. Malah ada seorang narasumber andalan kantor yang sudah diberi lampu merah oleh dokter, beliau harus opname. Namun beliau bersikeras menyelesaikan tanggungan program. Beliau berkata, ”Saya belum sempat opname dok! Tunggu pekerjaan saya selesai.”
Mulanya saya geli mendengar penuturan beliau. Opname kok disempatkan, sakit kok diluangkan. Saya heran, mengapa beliau tidak menyugesti diri supaya sehat saja, sehingga tidak perlu opname. Namun setelah saya berbincang lebih lanjut dengan beliau, rasa geli tadi sirna. Sebaliknya, saya terkagum dengan cara pandang beliau tentang sakit-penyakit.
Baiklah kita mencegah datangnya penyakit. Tetapi, bagaimanapun juga penyakit yang menjadi jatah kita harus diterima. Sebab melalui penyakit, kita belajar banyak hal. Kita belajar untuk lebih sabar menghadapi rasa badan yang serbatidak nyaman. Kita belajar untuk menyediakan waktu istirahat, menepi dari ingar-bingar pekerjaan. Lebih-lebih kita diajarkan untuk rendah hati, menanggalkan kesombongan diri. Kalau orang sehat selamanya, ia tidak pernah mengerti bagaimana cara bertahan dalam penderitaan. Kalau ia tidak mengalami kesusahan, ia akan jumawa. Kalau ia sudah jumawa, mana bisa ia menaruh empati pada orang sekitarnya.
Kembali saya mengingat diri saya sendiri. Saya dijatah sakit Lupus sudah 12 tahun lamanya. Benar bahwa Lupus mengubah hidup saya menjadi lebih baik. Fisik boleh berubah akibat gempuran penyakit, tetapi hati jangan ketinggalan untuk diubahkan. Saya bukan lagi orang yang suka mengeluh dan suka acuh. Kalau saya dilahirkan kembali, saya akan meminta kepada Tuhan supaya saya tetap dijatah sakit Lupus. Sungguh.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...