Belajar dari Sejarah
Berkait dengan sejarah, orang cenderung fokus pada nama dan peristiwa.
SATUHARAPAN.COM – ”Pasanglah telinga untuk pengajaranku, hai bangsaku, sendengkanlah telingamu kepada ucapan mulutku. Aku mau membuka mulut mengatakan amsal, aku mau mengucapkan teka-teki dari zaman purbakala. Yang telah kami dengar dan kami ketahui, dan yang diceritakan kepada kami oleh nenek moyang kami, kami tidak hendak sembunyikan kepada anak-anak mereka, tetapi kami akan ceritakan kepada angkatan yang kemudian puji-pujian kepada TUHAN dan kekuatan-Nya dan perbuatan-perbuatan ajaib yang telah dilakukan-Nya” (Mzm. 78:1-4).
Demikianlah pengajaran Asaf. Jelas sekali dalam pengajaran ini pentingnya sejarah. Bangsa Yahudi memahami pentingnya sejarah. Pemahaman itu membuat mereka tak ingin menyembunyikan sejarah Israel terhadap keturunan mereka. Betapa pun pahitnya perjalanan hidup Israel, mereka harus menceritakannya kepada anak-anak mereka, dan mendorong anak-anak mereka mengisahkannya kepada generasi kemudian.
Mengapa? Salah satu sebabnya: sifat lupa yang melekat erat dalam diri manusia. Sejarah menjadi penting agar generasi berikutnya tidak mengulangi kesalahan nenek moyang di masa lampau.
Manusia memang bukan keledai—yang konon tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama untuk kedua kali. Tetapi, entah kenapa manusia, yang bukan keledai itu, ternyata acap jatuh dalam kesalahan yang sama.
Alasan mendasar lainnya: agar keturunan mereka menaruh kepercayaan kepada Allah, tidak melupakan perbuatan-perbuatan Allah, tetapi memegang perintah-perintah-Nya (Mzm. 78:6-8). Belajar sejarah berarti merenungkan dan mensyukuri karya Allah di masa lampau. Yang akhirnya akan membuat orang makin mengasihi Allah.
Menarik disimak bahwa dalam mempelajari sejarah mereka tidak berfokus pada diri sendiri. Tidak. Tidak ada pendewaan diri, tetapi mereka menyadari bahwa semuanya merupakan berkat dari Allah semata. Itu seperti syair lagu: ”Betapapun tinggi prestasi manusia, semua itu kar’na rahmat Anugrah Tuhan. Kita semua adalah alat yang Kuasa. Jangan s’orang pun megahkan dirinya. Ref: S’gala pujian bagi Tuhan. Hanya Tuhan patut disembah. Tak s’orangpun layak megahkan diri. Kemuliaan hanya bagi Tuhan”
Persoalan memang sering di sini. Berkait sejarah, orang cenderung fokus pada nama dan peristiwa, yang tidak jarang bermuara kepada pendewaan atau penistaan diri. Dan kenyataan inilah yang membuat manusia malah lupa untuk memahami makna di balik sejarah itu sendiri. Tak heran, akhirnya jatuh ke dalam lubang kesalahan yang sama.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...