Benang Kusut NU-PKI
Timbangan Buku
SATUHARAPAN.COM - Liputan Khusus Majalah TEMPO 1 Oktober 2012 dengan cover story bertuliskan “Pengakuan Algojo 1965” mendapat perhatian serius dari kalangan NU. Dalam liputan tersebut Ansor-Banser NU seolah diposisikan sebagai algojo yang membantai PKI. Beragam respon muncul setelah liputan tersebut keluar. Ada yg bisa memahami, tapi tidak sedikit yang marah, bahkan mensomasi Majalah TEMPO, meskipun tidak jelas bagaimana akhir dari somasi tersebut.
Nah, buku ini merupakan bagian dari respon NU terhadap liputan khusus Majalah TEMPO tersebut meskipun tidak diungkapkan secara eksplisit. Jika Liputan Khusus TEMPO, NU bersama TNI dipersepsi sebagai aktor yang melakukan pembantaian terhadap PKI, buku ini membuat tesis sebaliknya.
Jauh sebelum terjadi peristiwa 1965, PKI sudah beberapa kali melakukan aksi sepihak yang mengancam pesantren dan kiai-kiai NU, terutama di Jawa Timur. Karena itu, penulis buku ini memandang, apa yang dilakukan NU pada tahun 1965, di samping merupakan upaya pembelaan diri juga dipandang sebagai langkah penyelamatan rakyat, agama dan Negara (h. 11). Seluruh pembahasan dalam buku ini diorientasikan untuk mendukung argumentasi tersebut.
Judul : Benturan NU PKI 1948-1965 Penulis : H. Abdul Mun’im DZ Penerbit : PBNU dan Langgar Swadaya, Desember 2013. Tebal : 239 halaman |
Buku ini dianggap penting karena akhir-akhir ini muncul asumsi yang dianggap meresahkan dengan munculnya opini dan kajian-kajian yang cenderung menempatkan PKI semata-mata sebagai korban. Opini-opini yang mulai menaruh simpati pada PKI ini dianggap membahayakan, karena pada saat yang sama justru NU yang dianggp sebagai pelaku kekerasan pada PKI.
Ada beberapa isu yang ingin dibantah penulis buku ini terhadap penulis-penulis peristiwa 1965 yang dianggap merugikan NU. Pertama, dramatisasi jumlah korban dari kalangan PKI. Ada beberapa penulis Barat seperti Ben Anderson, Geoffrey Robinson yang berspekulasi jumlah korban PKI 500 ribu sampai 1 juta orang. Spekulasi seperti ini dianggap tidak punya dasar, hanya berdasar perkiraan. Padahal kalau menggunakan sumber dari kalangan PKI sendiri jumlah korban “hanya” 180.000; Soekarno menyebut 60.000; Adam Malik 150.000; TNI 40.000 dan perkiraan Hermawan Sulistyo sekitar 25.000. Jumlah tersebut semua tidak ada yang pasti, tapi penggelembungan korban PKI hingga hampir 1 juta orang, dianggap tidak masuk akal (h. 14-25).
Kedua, karena menekankan pada PKI sebagai korban, maka korban di pihak NU dinafikan. Padahal, tidak sedikit kiai-kiai NU menjadi korban keganasan PKI. Karena itu, buku ini memberikan bukti-bukti tokoh-tokoh NU yang menjadi korban PKI (lihat lampiran 5). Di Banyuwangi misalnya, dalam sebuah konvoi di Karang Asem ada 93 orang NU yang dibunuh PKI dengan diracun. Demikian juga dengan rombongan pawai Ansor, sekitar 60-an orang dijebak dan dibantai di hutan. Data-data tersebut menurut penulis buku ini diabaikan penulis-penulis asing sehingga menimbulkan kesan NU adalah pelaku dan PKI adalah korban. Bab IV, V dan VI buku ini secara rinci menjelaskan hal tersebut, baik dalam peristiwa pemberontakan PKI 1948 maupun peristiwa 1965.
Persoalan ketiga yang ingin dibantah buku ini adalah tuduhan bahwa NU adalah alat TNI untuk membantai PKI. Untuk membantah tuduhan, penulis buku ini berargumen bahwa NU dan TNI sudah sejak lama melakukan koordinasi terutama untuk hal yang terkait dengan menjaga keamanan nasional. Koordinasi NU dengan TNI itulah yang diputarbalikkan bahwa NU diperalat TNI. Hal itu tidak sesuai dengan kenyataan karena permusuhan NU dan PKI telah terjadi sejak 1947, berlanjut 1948, 1950-an dan berpuncak 1965. Permusuhan NU dan PKI, menurut penulis buku ini, karena perbedaan akidah dan ideologi perjuangan (h, 19).
Bab VII buku ini secara khusus membahas rekonsiliasi NU-PKI. Di sini ditunjukkan bahwa secara social rekonsiliasi itu sudah terjadi secara alamiah. Hubungan sosial antara tokoh-tokoh NU dengan anak-anak PKI sudah terjalin baik, bahkan tidak sedikit anak-anak PKI yang menjadi anak angkat tokoh NU. Hal itu terjadi di berbagai tempat seperti Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara (h. 179-186). Rekonsiliasi politik juga secara alamiah terjadi. Ketika proses demokrasi terbuka tahun 1998, banyak anak-anak PKI yang mulai hak politiknya dipulihkan, bisa ikut pemilu, bahkan jadi anggota DPR.
Dengan begitu, apakah persoalannya selesai? Ternyata tidak. Bangsa ini masih menyimpan luka. Upaya Gus Dur untuk menyembuhkan luka dengan saling memaafkan tidak mendapat sambutan memuaskan. Begitu juga dengan usulan Gus Dur untuk mencabut TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang melarang ajaran melarang ajaran komunisme/marxisme-leninisme juga ditentang banyak kalangan. Hal ini menunjukkan, bangsa ini tidak mempunyai kesiapan untuk membicarakan dan mencari penyelesaian secara tuntas peristiwa 1965 ini. Semua persoalan dibiarkan selesai secara alami, meski tidak pernah tuntas. Semua dianggap selesai dengan tidak lagi membicarakan persoalan itu. Harus diakui, penyeesaian masalah seperti inilah yang menjadikan bangsa ini selalu punya beban sejarah. Benang kusut itu tak pernah bisa diurai.
Bagaimanapun, buku ini tetap bermanfaat untuk melihat perspektif lain tentang interaksi NU dan PKI hingga tahun 1965. Buku ini juga memberi sinyal pentingnya mewaspadai kebangkitan kembali komunisme melalui berbagai saluran. Komunisme masih diletakkan sebagai hantu yang menakutkan, meskipun di belahan dunia lain ideologi komunisme sudah bangkrut.
Kelompok yang paling diuntungkan dengan buku ini adalah TNI. Jika dalam buku-buku lain tentang peristiwa 1965 TNI mendapat sorotan tajam, dalam buku ini TNI diletakkan sebagai “penyelemat bangsa”. Bisa jadi buku ini terlalu mensimplifikasi persoalan 1965, namun data-data yang diungkapkan bisa memperkaya kajian peristiwa gelap tahun 1965. Sejak awal buku ini memang diniatkan untuk melakukan pembelaan diri.
Penulis adalah Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti Senior the WAHID Institute
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...