The Ahok Way
Demokrasi mensyaratkan Meritokrasi
SATUHARAPAN.COM – Lupakan Jokowi Effect. Itu cerita Pilpres lalu. Kini orang ramai membicarakan The Ahok Way!
Fenomena Basuki Tjahaja Purnama (akrab dipanggil “Koh Ahok”) memang layak dicermati. Pria kelahiran Manggar (1966), Belitung Timur itu, punya serangkaian jurus dan gebrakan yang makin mengundang decak kagum masyarakat. Juga, boleh jadi, akan disebut sebagai penanda penting sejarah proses demokratisasi yang sedang berjalan di negeri ini.
Alasannya banyak. Tapi mungkin kita bisa berkaca pada tiga soal ini. Pertama, gaya Ahok yang suka bicara blak-blakan, terbuka tanpa tedeng aling-aling dan sering dengan nada tinggi, menjungkirbalikkan gaya birokrat lama. Apalagi hampir semua pembicaraan, termasuk rapat-rapat kantor, direkam dan diunggah ke Youtube agar bisa ditonton orang banyak. Dan perhatikan bagaimana ia selalu tampil apa adanya. Kalau toh orang menegur gaya blak-blakannya, ia hanya bilang, “Itulah saya!”
Tetapi gaya blak-blakan dan suara keras Ahok menarik simpati orang banyak karena alasan kedua: Ia tegas memegang prinsip-prinsip dalam berpolitik. Di tengah orang ramai-ramai menggadaikan prinsip demi memegang kekuasaan, Ahok justru tampil tegas dengan prinsipnya: “Saya hanya taat pada Konstitusi, bukan konstituen!” Dan dalam soal ini, Ahok memang layak dipuji. Begini alasannya.
Sejak kekuasaan totaliter rezim Orde Baru tumbang, Mei 1998 lalu, ada proses liberalisasi politik dan desentralisasi kekuasaan yang luar biasa berlangsung di negara ini. Di tengah gunjang-ganjing itu, muncul godaan politik yang paling sulit dihindari: popularitas. Orang dapat meroket dengan cepat, menarik simpati masyarakat luas, lalu merebut dan memegang tampuk kekuasaan.
Nah, ada dua jalan paling mudah menjadi populer: menjaga citra sebaik-baiknya (anak muda menyebutnya “ja’im”, alias “jaga image”) dan/atau tunduk pada kehendak massa pendukung, yakni konstituen. Kedua cara itu lebih sering dilakukan serentak. Maka dari itu jangan heran jika kini para politikus suka menampilkan diri sebagai orang saleh, lengkap dengan busana religius, walau kelakuannya korup. Juga jangan heran jika para politikus sering beragumen tanpa dasar, sampai-sampai melecehkan akal sehat, demi membela (konon) “kepentingan konstituen”.
Persis pada titik itu, Ahok menunjukkan yang sebaliknya: Ia tegas memegang prinsip-prinsip dasar yang melandasi kehidupan bersama, yakni Konstitusi. Untuk itu, tidak sedikit pun ia tampak ragu. Bahkan ketika orang banyak berdemo menentang kebijakan dan gayanya, Ahok tetap bersikukuh dengan sikapnya.
Di sini, Ahok memberi kita pelajaran penting. Sudah terlalu lama dasar-dasar pengaturan negara ini dikaburkan oleh banyak kepentingan maupun motif-motif yang tidak jelas. Sudah terlalu lama politik dijadikan sekadar alat demi kepentingan sekelompok orang, yang kerap memakai simbol-simbol maupun prasangka sektarian, entah itu agama atau ras dan suku. Bagi negara multikultur seperti Indonesia, praktik-praktik berpolitik seperti itu bak menyimpan bom waktu.
Dibutuhkan figur pemimpin yang tegas dan mau bergeming di atas Konstitusi, tidak mau tunduk atau terkena bujuk rayu popularitas atas nama konstituen. Sebab Konstitusi merupakan satu-satunya nilai dasar yang menjadi kesepakatan bagaimana tatanan kehidupan bersama mau dibangun. Ahok menampilkan figur itu, yang dengan segera mengundang simpati banyak kalangan.
Lebih dari itu semua, Ahok adalah penanda penting sejarah demokratisasi karena alasan ketiga: walau diterpa isu sektarian tak sedap, ia tetap dilantik sebagai Gubernur DKI menggantikan Jokowi. Dan Ahok mengukir sejarah baru: orang tidak lagi menilainya sebagai “keturunan Tionghoa” maupun “beragama Kristen Protestan”, tetapi apa yang sudah dilakukannya guna mengabdi pada masyarakat.
Karena itu, ada teman saya yang memaknai apa itu “revolusi mental” secara sederhana begini: Revolusi mental adalah seorang tukang kayu biasa, bukan keturunan bangsawan atau pejabat, mampu menjadi Presiden RI. Dan seorang “Koh Ahok” bisa jadi Gubernur DKI Jakarta! Bisa juga ditambahkan: seseorang yang tidak lulus SMA bisa jadi Menteri!
Dengan kata lain, Koh Ahok menunjukkan penanda penting yang melandasi proses demokratisasi: sistem demokrasi mensyaratkan meritokrasi sebagai satu-satunya tolok ukur. Artinya, pemimpin tidak lagi dilihat latar belakang primordialnya, tetapi apa prestasinya. Keberhasilan – atau kegagalan – seorang pemimpin hanya dinilai dari prestasinya, bukan agama yang dianut, dari suku atau ras mana ia datang, bahkan bukan dari pendidikan yang dicapainya.
Itulah The Ahok Way!
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta.
Cara Telepon ChatGPT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perusahaan teknologi OpenAI mengumumkan cara untuk menelepon ChatGPT hing...