Benny Giay: Perlawanan Bangsa Papua Tidak Turun dari Langit
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Tokoh gereja di Papua mengharapkan pemerintah Indonesia dapat melakukan dialog dengan sejarah, berefleksi dan tidak terus-menerus memutar 'lagu lama' yang sudah basi.
Ketua Sinode Gereja Kemah Injili (Kingmi) di Tanah Papua, Benny Giay, menegaskan hal itu dalam wawancara dengan satuharapan, Jumat (4/2).
Ia tidak terkejut dengan pernyataan Menkopolhukam, Luhut Pandjaitan, yang mengatakan agar mereka yang terlibat dalam organisasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) angkat kaki dari Indonesia.
"Pernyataan Pak Luhut yang begitu itu saya kira hanya replay dari lagu lama yang sering diputar kembali oleh pihak Jakarta. Tidak ada sesuatu yang baru di bawah kolong langit Indonesia," kata Benny.
Menurut dia, menkopolhukam atau menhankam sebelumnya sudah pernah melemparkan pernyataan itu. "Pak Luhut hanya mengulangi kata-kata yang sudah basi."
Dari lontaran pernyataan itu, kata Benny, pihaknya dapat mengerti bahwa, "pikiran petinggi negara ini mengalami kedangkalan atau kebuntuan."
Menurut dia, itu adalah tanda suatu bangsa yang "tidak ada budaya refleksi, tidak pernah mau dialog dengan sejarahnya sendiri. Atau tidak membuka diri belajar dari kesalahan (kmunafikan politik) menteri sebelumnya."
Lebih jauh, pernyataan itu juga ia anggap sebagai indikasi bahwa Jakarta masih akan terus memainkan 'politik lempar batu sembunyi tangan.'
"Mereka pikirannya dangkal memandang perlawanan bangsa Papua selama ini atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan ULMWP sebagai barang yang turun dari langit. Sementara kami bangsa Papua memandang OPM atau ULMWP sebagai bayi nasionalisme Papua; yang lahir sebagai buah dari kawin paksa antara Indonesia dengan Papua (melalui Pepera tahun 1969)," kata Benny.
Menurut dia, dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 Papua dipaksa menjadi bagian dari Indonesia melalui referendum yang direkayasa.
"Setelah referendum itu Indonsia melaksanakan ideologi pembangunan 'bias pendatang' di Papua. Papua dianggap tidak ada. Kepentingan dan masa depan yang jadi ultimate concern."
"Jakarta dan elitnya kami minta bersihkan mimbarnya sebelum kotbah/ pidato," kata Benny.
(Catatan: ini adalah tulisan kedua dari serangkaian tulisan yang didasarkan pada wawancara dengan Benny Giay pada Jumat 4 Maret 2016)
Editor : Eben E. Siadari
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...