Loading...
EDITORIAL
Penulis: Masmimar Mangiang 19:31 WIB | Minggu, 05 Januari 2014

Berani-beraninya Mengabaikan Nalar

SATUHARAPAN.COM - Orang-orang yang namanya sering disebut hendak mencalonkan diri sebagai presiden, belakangan ini sering muncul di televisi menyerukan pendapat tentang negara dan bangsa, mengajak khalayak, dan mengibar-ngibarkan citra diri. Salah seorang di antaranya berkata, “Keberanian Anda memberi saya semangat untuk berani lebih baik.”

Tahun lalu, ketika memperingati Hari Anti-korupsi Sedunia, Komisi Pemberantasan Korupsi memperdengarkan campaign statement, “Berani Jujur, Hebat.” Maka kata “berani” itu kemudian memancing pertanyaan. Apakah menjadi lebih baik dan berlaku jujur itu menakutkan, sehingga untuk menjadi lebih baik dan jujur diperlukan keberanian? Nalar menjawabnya dengan kata “tidak”.

Di situ kita menyaksikan, telah terjadi kekeliruan berpikir. Upaya sosialisasi dan usaha menyakinkan publik --untuk hal yang sifatnya serius dan penting-- dilakukan dengan bahasa “berwatak” iklan, bahasa yang kerap kali aneh, antara lain karena mementingkan keunikan.

Bahasa iklan dimungkinkan mengingkari nalar, dan banyak yang tidak berlandaskan fakta. Bahasa iklan adalah bahasa yang menembak emosi manusia.  Ia hanya ingin menyentuh perasaan pendengar atau pembacanya, tetapi tidak mengajak orang berpikir. Berbeda dengan itu, bahasa untuk komunikasi politik selayaknyalah bahasa yang menyentuh nalar, karena hasil akhir yang diinginkan adalah terbentuknya keyakinan orang banyak.

Berunik-unik dalam bahasa komunikasi politik ini mengkhawatirkan seandainya itulah gambaran tentang Indonesia dan orang Indonesia dewasa ini. Ia jadi mencemaskan apabila bahasa “bermain-main” ini adalah gambaran tentang bangsa yang tidak serius, enggan berpikir, bisa berbicara banyak tentang keadaan tetapi tanpa kemampuan merumuskan bagaimana mengatasi keadaan itu. Berunik-unik dalam bahasa komunikasi politik ini menyepelekan nalar khalayak, seperti berbagai acara televisi yang dewasa ini serba guyon, serba konyol, dan sarat oleh kebodohan.

Kesan tidak sanggup serius itu, juga tercermin ketika dalam urusan yang lain yang sifatnya juga penting, kita mengajak masyarakat dengan bahasa “bermain-main” yang sama sekali juga tidak menyentuh alam pikiran. Instansi pajak pernah memasang poster berbunyi “Gini ari nggak bayar pajak? Apa kata dunia?” Kalimat “apa kata dunia” diandalkan sebagai cantolan ingatan publik untuk pajak.

Tapi apakah orang terpengaruh dan kesadaran membayar pajak membaik? Sangat mungkin orang akan berkata, “Dunia mau bilang apa kek, kalau gua bisa menghindari pajak, ya gua hindari.” Pajak tidak dibicarakan dalam arti kewajiban, dan tidak dikatakan bahwa itu adalah sumber penting keuangan negara.

Pemilih Rasional

Di tengah masyarakat yang mungkin enggan berpikir ini, boleh jadi kini tumbuh lapisan yang mampu menggunakan nalar. Melihat keadaan yang berkembang belakangan ini, yang antara lain terbaca lewat tulisan dan komentar di media sosial, dapat diduga bahwa jumlah pemilih rasional sekarang meningkat dibandingkan dengan masa yang lalu. Kelompok ini adalah kelompok yang menjatuhkan pilihan atas dasar pertimbangan rasional, berbeda dengan pemilih emosional yang antara lain membuat pilihan atas pertimbangan primordial.

Pemilih rasional tidak mungkin diyakinkan dengan bahasa iklan. Mereka tahu mempergunakan nalar. Oleh karena itu, bahasa iklan yang diumbar untuk komunikasi politik hanya akan menyentuh pemilih emosional, yang selain atas pertimbangan primordial bisa membuat pilihan atas dasar citra yang terbentuk oleh bahasa iklan tersebut, atau atas dasar “ganteng dan cakapnya” calon yang dipilih. Apabila kemenangan kandidat presiden bergantung pada pemilih seperti ini, maka kepala negara dan kepala pemerintahan terpilih kelak bukanlah orang yang layak untuk memimpin negara.

Walau “tipuan statistik” ekonomi makro menyatakan bahwa banyak kemajuan yang sudah dicapai, siapa pun tak akan membantah bahwa Indonesia adalah negara dan bangsa yang tengah menanggung persoalan begitu banyak dan mendasar. Untuk membenahinya tahap demi tahap, Indonesia tidak memerlukan pemimpin jujur sekadar jujur tetapi tidak sanggup membuat pemerintahan menjadi lebih bersih.

Indonesia tidak memerlukan pemimpin yang sekadar gemar mempertontonkan sikap merakyat, tapi tidak jelas apa yang akan dia lakukan untuk memperbaiki taraf hidup orang banyak. Indonesia tidak memerlukan pemimpin yang pintar memasak, yang pandai menulis lagu, dan terampil memainkan alat musik. Indonesia memerlukan pemimpin yang membuat rakyatnya dapat bersenandung dengan lagu kemakmuran disertai musik kesejahteraan dengan nada kedamaian.

Kita menunggu penjelasan tentang seberapa paham orang-orang yang menyatakan dirinya berniat menjadi presiden mengenai keadaan Indonesia yang akan dia pimpin, arah yang akan dia tuju, program yang akan dia jalankan, dan target yang dia patok untuk lima tahun di muka.

Penjelasan yang kita tunggu bukan penjelasan berbahasa unik, tidak berbahasa normatif, tidak bersifat umum dan hanya sekadar kulit tanpa memperlihatkan isi. Kita sama sekali tidak tertarik pada orang-orang yang untuk naik ke kursi kepresidenan membentuk citra, dan menjajakan diri seperti menjajakan sabun cair yang sanggup mencuci seribu piring.

*Editorial kali ini diambil dari tulisan wartawan dan pengajar di FISIP UI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home