Berbagi Kasih Sayang di Panti Asuhan Parapattan
SATUHARAPAN.COM – Bagi Ando, bocah Alor, dan Sordin, si bocah asal Mentawai, hari Sabtu, 20 Oktober 2018 itu adalah salah satu kesempatan mereka berinteraksi dan bergembira dengan orang luar. Kedua bocah itu, bagian dari 38 orang anak-anak Panti Asuhan (PA) Parapattan di Jakarta Timur, yang menjalani kehidupan keseharian dalam bingkai aturan yang ketat.
Pada pagi hingga siang itu, serombongan tamu dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) Cawang berbagi kasih sayang dengan mereka. Sebagai bagian dari rangkaian Bulan Keluarga 2018, rombongan GKI Cawang, dipimpin Kithara Purnamawaty Nugroho, mengajak anak-anak bermain-main mengasah keterampilan dan kekompakan, seusai ibadah singkat.
Rangkaian acara diawali dengan pemotongan kue, menandai ulang tahun panti asuhan yang didirikan pada 17 Oktober, sekaligus anak panti dan tamu yang berulang tahun di bulan Oktober.
Dipandu Irene Purnamadjaja, aktivis Sekolah Minggu GKI Cawang, anak-anak PA Parapattan dan beberapa anak Sekolah Minggu GKI Cawang yang urut serta dalam kunjungan tersebut, dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, acak dari tingkat SD hingga SLTA. Seusai beradu kreativitas menampilkan yel-yel yang diciptakan bersama pembimbing, Kelompok Zakheus, Maryam, Daniel, Yunus, Samuel, Abraham, beradu keterampilan dalam permainan yang mengedepankan kekompakan. Beberapa majelis jemaat yang mengikuti acara kunjugan itu bertugas menjadi juri.
Ada yang mendapatkan banyak hadiah, seperti Kelompok Zakheus, kelompok tempat Ando bergabung, ada yang hanya mendapat sedikit hadiah. Namun, semua mendapat hadiah. Semua bergembira. Meminjam istilah Pdt Izack Sipasulta, pendeta GKI Cawang yang turut serta dalam acara kunjungan, siang itu semua saling berbagi suka cita melalui permainan-permainan.
Merayakan Bulan Keluarga 2018 dengan tema “Keluarga yang Memberi Pengharapan”, GKI Cawang berbagi kasih sayang dengan memberikan bantuan uang, sembako, kebutuhan sekolah, dan keperluan sehari-hari.
Panti Asuhan Tertua
Kristina Hari Diyanti MSi, pemimpin panti, dalam kesempatan itu menceritakan PA Parapattan merupakan panti asuhan tertua di Indonesia, didirikan pada tahun 1832, jauh sebelum republik ini terbentuk.
Membuka-buka referensi lama, di antaranya tulisan HB Touw dalam academia.edu, “Panti Asuhan Parapattan sejak 1832”, disebutkan semua berawal dari penampungan anak-anak telantar bernama ”The English Orphan Asylum”. Pendeta Walter Henry Medhurst, yang berkebangsaan Inggris, tergerak hatinya menolong anak-anak yang telantar, buah pernikahan antara pria pendatang dari Eropa dengan wanita Indonesia.
The English Orphan Asylum didirikan pada tanggal 17 Oktober 1832. Gubernur Jenderal ke-43 Hindia Belanda, Johannes van den Bosch, yang memerintah tahun 1830-1834, merestui pendiriannya sebagai penampungan anak-anak telantar.
Dalam perjalanannya, penampungan anak telantar itu kemudian menjadi sebuah yayasan yang beralamatkan di Parapattan Laan, Batavia (sekarang Jl Parapattan, Kwitang, Jakarta Pusat,) dengan nama The Parapattan Orphan Asylum.
Pengelolaannya, kemudian diserahkan kepada organisasi wanita masa pemerintahan Gubernur Jenderal ke-49 Hindia Belanda, Jan Jacob Rochussen (1845-1851). Namanya pun diganti menjadi Parapattan Weezengesticht. Pada 16 November 1846, rumah panti tersebut dipindahkan ke Rijswijk No 10 (Jl Segara No 10), yang sekarang dikenal dengan nama Jl Veteran, Jakarta Pusat.
Pada tahun 1953, Parapattan Weezengesticht diserahkan pengelolaannya kepada orang Indonesia, MA Pelaupessy. Namanya pun diubah menjadi Yayasan Panti Asuhan Parapattan. Pada akhir tahun 1958, gedung panti asuhan yang berada di sekitar Istana Presiden itu dijadikan Lembaga Administrasi Negara. Anak asuh yang berjumlah 70 orang, dipindahkan ke Jakarta Timur, di Jalan Panti Asuhan, nama yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia sampai sekarang. Jalan itu terletak di Jalan Otista III.
Anak Asuh Bersekolah di Sekolah Swasta
Panti Asuhan Parapattan saat ini mengasuh 38 anak, empat di antaranya sudah menyelesaikan pendidikan.
“Semua bersekolah di sekolah swasta, yang dikelola yayasan Kristen atau Katolik, dan membayar penuh. Keringanan hanya kami dapatkan pada waktu mencicil biaya masuk,” kata Kristina.
Latar belakang anak-anak di PA Parapattan beragam, ada yang yatim, ada yang yatim piatu, seperti Sordin, anak Mentawai yang kehilangan orang tuanya, korban bencana tsunami. “Yayasan KAUM (Kasih Abadi untuk Mentawai, Red) menyerahkan untuk diasuh di sini,” kata Kristina.
Sordin sekarang duduk di kelas dua sekolah dasar di kawasan Pondok Bambu. “Ke sekolah, saya harus dua kali ganti kendaraan umum, mikrolet,” katanya.
Lain Sordin, lain pula kisah Angel. Ia masih mempunyai ibu. Tetapi, ia memilih tinggal di panti ketika ibunya menikah lagi.
Kisah Angel tak jauh berbeda dengan Christina, siswi SMP PSKD. Ia lahir tanpa mengenal ayahnya, karena orang tuanya berpisah. Ibunya kemudian menikah lagi, dan membuatnya memiliki adik-adik tiri. Hingga usianya kini, ia mengaku baru satu kali bertemu ayah kandungnya.
Rachel, Dicky, dan Kevin, adalah anak-anak panti yang sudah duduk di bangku sekolah lanjutan atas. Panti membiayai mereka ke sekolah kejuruan.
Dicky, asal Singkawang, Kalimantan Barat, memilih jurusan tata boga di SMK Santa Maria, terinspirasi dari bermunculannya chef-chef muda belakangan ini. Ia bercita-cita ingin membuka usaha sendiri.
Dengan pengasuh yang terbatas, memang memerlukan tantangan tersendiri dalam menghadapi anak-anak, mulai dari yang terkecil hingga yang menginjak usia remaja. Salah seorang pengasuh, mengatakan tantangan terberat itu terutama menghadapi anak-anak yang mulai menginjak usia remaja saat menjawab pertanyaan mengapa gerak mereka sangat dibatasi, dengan mencontohkan, “Tanpa ponsel, dan pulang sekolah tepat waktu.”
Editor : Sotyati
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...