Berbagi Pengalaman Guna Menghindari Diskriminasi Antaragama
LEMBANG, SATUHARAPAN.COM – Gayatri Wedotami selaku peserta Youth Camp For Peace yang diselenggarkan ICRP dan Harmoni Mitra Media, dan diselenggarakan di Lembang, Bandung mulai tanggal (27/9) hingga (29/9) lalu menuliskan dalam halaman pribadinya bahwa selama kegiatan tiga hari dua malam tersebut, para pemuda setingkat seusia mahasiswa dilatih berbagai macam kegiatan.
Gayatri mengatakan bahwa kegiatan tiga hari tersebut anak-anak muda belajar mengenal agama dan keyakinan satu sama lain, sekaligus melatih untuk mereka peka bahwa adalah merupakan kebutuhan setiap peserta/orang untuk beribadah menurut keyakinan masing-masing.
Gayatri mengatakan kegiatan ini penting karena pada kemudian hari ini mereka mempelajari bahwa konstitusi negara ini sebenarnya sudah sangat menjamin hak setiap umat mendirikan rumah ibadah mereka, karena para mahasiswa sudah paham bahwa sesungguhnya tidak ada agama yang mengajarkan ada hukuman bagi mereka yang pindah keyakinan, atau murtad (apostasy).
Gayatri menjelaskan pada hari pertama pengalamannya pada Jumat (27/9) bersama para peserta, yakni mendengarkan penjelasan anggota DPR RI, Eva Sundari. Anggota DPR-RI Komisi III ini menerangkan tentang pluralisme dan payung hukum bagi warga Indonesia dalam menjalankan ibadah.
Menurut Gayatri, saat hari pertama itu pengalaman yang tidak dilupakannya antara lain mendengar kesaksian para penganut kepercayaan minoritas di beberapa daerah tertentu.
Berbagi Pengalaman Beragama
“Seorang anak Syiah berbagi pengalamannya ketika ‘mondok’ di sebuah pesantren yang dikenal sebagai pesantren yang dikelola oleh ulama-ulama Syiah, di Jawa Timur. Pengalaman-pengalamannya mendapati prilaku hate speech di tempat-tempat publik di kota tempat pesantrennya berada,” menurut Gayatri.
Tidak hanya Islam Syiah, tetapi penganut Kristen di daerah Jawa Barat tidak dapat beribadah saat gerejanya disegel kelompok tertentu.
“Seorang anak Kristen Protestan berbagi pengalamannya ketika gerejanya di Bekasi Timur disegel dan dilarang beroperasi, dan dia bersama keluarga serta jemaat lainnya memutuskan beribadah di pinggir jalan di dekat gereja tersebut. Sambil menangis dia menceritakan bagaimana dilempari tahi sapi saat kebaktian, diganggu saat beribadah, dan mengalami tindakan-tindakan hate speech (ungkapan kebencian atau kekerasan dalam bentuk kata-kata verbal) lainnya,” menurut Gayatri.
Gayatri mengapresiasi persahabatan beda etnis yang saat ini jarang terjadi di Indonesia dia saksikan sendiri, Gayatri mengatakan orang yang memiliki pengalaman bergaul dengan banyak orang dengan latar belakang etnis dan agama yang berbeda sangat menarik untuk dipelajari.
“Saya merasa terharu melihat keakraban dan kemesraan yang telah terjalin di antara para peserta. Salah satu peserta, misalnya, adalah seorang gadis SMA yang berasal dari pasangan beda agama dan beda etnis, Batak dan Tionghoa,”
Gayatri mengatakan, “Bahwa sejak kanak-kanak orang yang memberikan kesaksian itu pernah belajar agama Islam dari komunitas Ahmadiyah di dekat rumahnya dan bersahabat dengan putra dari ustadz komunitas Ahmadiyah,” lanjut Gayatri.
Kegiatan pada hari terakhir diakhiri dengan hubungan akrab dan mesra telah terjalin di antara para peserta dan dengan panitia. Masing-masing menulis surat komitmen untuk dirinya sendiri, dengan bertujuan agar mengenal agama dan keyakinan satu sama lain, sekaligus melatih untuk mereka peka bahwa adalah merupakan kebutuhan setiap peserta dan orang untuk beribadah menurut keyakinan masing-masing. (icrp-online.org/ aldekalogiyah.wordpress.com)
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...