Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 21:21 WIB | Jumat, 17 November 2017

Berdiam Dirilah di Hadapan Tuhan

Persoalan manusia adalah begitu disibukkan dengan banyak suara sehingga tidak mampu lagi mendengarkan suara Allah.
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – ”Sudah dekat hari Tuhan yang hebat itu, sudah dekat dan datang dengan cepat sekali! Dengar, hari Tuhan pahit, pahlawan pun akan menangis” (Zef. 1:14). Demikianlah nubuat Zefanya kepada umat Yehuda pada masa pemerintahan Yosia.

Hari Penghakiman itu memang pahit. Mengapa? Karena, perhatikan ayat 12-13, ”Pada waktu itu Aku akan mengambil obor, dan menggeledah kota Yerusalem. Akan Kuhukum penduduknya yang acuh tak acuh itu serta yang puas dengan dirinya sendiri, dan yang berpikir bahwa Aku, Tuhan tak pernah bertindak begini atau begitu. Harta mereka akan dirampas dan rumah-rumah mereka dihancurkan. Mereka akan membangun rumah, tetapi tidak mendiaminya. Mereka akan mengusahakan kebun anggur tetapi tidak minum anggurnya” (BIMK).

Hari Tuhan yang dimaksudkan Zefanya adalah saat di mana Allah akan menyerahkan Yehuda kepada para musuhnya akibat dari dosa-dosa mereka. Jelas di sini, Allah bukanlah pribadi yang membiarkan kejahatan berlalu begitu saja di depan mata-Nya. Dan itu jugalah persoalan bangsa Yehuda. Mereka, sebagaimana dakwaan Tuhan melalui Zefanya, bersikap acuh tak acuh, puas dengan dirinya sendiri, dan menganggap Tuhan juga cuek, tidak akan berbuat begini atau begitu. Mereka agaknya lupa status sebagai bangsa pilihan—yang seharusnya berbudi baik.

Dan karena itu itu, nasihat Zefanya sebelumnya perlu sungguh diperhatikan umat Israel: ”Berdiam dirilah di hadapan Tuhan ALLAH! Sebab hari Tuhan sudah dekat” (Zef. 1:7). Makna harfiah dari ”berdiam diri” memang tidak melakukan apa-apa. Di hadapan Tuhan, Israel memang tidak mungkin melakukan apa-apa—bahkan membela diri sendiri pun tidak bisa. Apa yang mau dibela wong kenyataannya memang demikian.

Namun demikian, ”berdiam diri” senada dengan bahasa Latin silentium ’waktu teduh’. Silentium—sebagaimana dikutip dari buku Terima Kasih, Baik, Lanjutkan! karya St. Sularto dan Trias Kuncahyono dalam rangka 20 tahun Mgr. Suharyo sebagai uskup—berguna untuk belajar mengendalikan diri, menahan nafsu. Dengan silentium para seminaris diajak untuk melakukan refleksi, introspeksi, belajar mendengarkan suara hati agar tidak salah melangkah, tidak salah dalam menanggapi panggilan Tuhan. Tentu, menghayati dan mengalami keheningan memang tidak mudah.

”Berdiam diri di hadapan Allah” akan membuat kita lebih mampu mendengarkan suara Allah. Pendengaran yang baik itu akan membuat kita sungguh mampu mengetahui kehendak-Nya. Persoalan manusia adalah begitu disibukkan dengan banyak suara sehingga tidak mampu lagi mendengarkan suara Allah. dan akhirnya terus bertanya-tanya dalam hatinya: ”Apakah kehendak Allah itu?”

Mungkin itu juga sebabnya Musa berdoa, ”Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mzm. 90:12).

Dalam kecerdasan dan pengalamannya selaku manusia, Musa masih ingin belajar! Dia tidak merasa perlu berhenti belajar. Bahkan keinginan belajarnya itu dijadikan doa.

Dalam BIMK tertera: ”Sadarkanlah kami akan singkatnya hidup ini supaya kami menjadi orang yang berbudi” (Mzm. 90:12). Ketika kita manusia menyadari bahwa hari-harinya singkat, maka tentu dia akan lebih serius dengan hidupnya. Mengapa? Karena waktu memang tak bisa disimpan. Waktu hanya bisa digunakan. Ketika tidak digunakan yang mungkin ada hanyalah penyesalan.

Karena itu, sebelum menyesal, berdiam dirilah di hadapan Tuhan!

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home