Berikar dan Bekerja
SATUHARAPAN.COM - Pada hari Jumat (28/10) suasana peringatan 88 Tahun Sumpah Pemuda sangat semarak di berbagai daerah. Pihak Istana Negara juga menggelar panggung yang meriah dan terbuka bagi warga. Berbagai institusi dan organisasi kemasyarakaratan juga tidak ketinggalan dengan berbagai acara yang unik.
Sayangnya, semua itu tampaknya hanya berhenti pada perayaan dan peringatan yang tampak berbeda dengan semangat yang dilakukan oleh pemuda Indonesia pada 88 tahun lalu. Perlu dicatat bahwa mereka tidak hanya mengeluarkan ikrar dan menghasilkan dokumen penting, tetapi juga gigih mewujudkannya.
Para pemuda ketika itu bukan hanya bicara dan berkomitmen untuk membangun bangsa, tetapi bekerja keras untuk mewujudkannya. Setelah berdirinya Budi Utomo pada 1908, yang merupakan kebangkitan kesadaran kebangsaan, kepeloporan kaum muda itelektual juga terlihat dengan gigih bekerja, sehingga dalam dua dekade kemudian terselenggaralah Kongres Pemuda.
Setelah Sumpah Pemuda, kerja keras kaum muda intelektian itu makin konkret dan terwujud dalam proklamasi kemerdekaan pada 1945. Itu terjadi dalam jangka waktu 17 tahun setelah Sumpah Pemuda.
Pernyataan satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa menjadi makin nyata dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemudian diakui secara internasional. Itu menunjukkan bahwa Budi Utomo, dan Kongres Pemuda bukan hanya sebuah pernyataan dan komitmen, tetapi diikuti aksi nyata untuk mewujudkannya.
Tak Ber-tanah air
Lalu, apa yang menjadi bagian generasi sekarang? Tentang ikrar satu Tanah Air, kita masih melihat keprihatinan yang mendalam, justru karena masih ada warga negara yang ‘’terasing.’’ Mereka adalah orang-orang yang menjadi pengungsi di negeri sendiri, karena tindakan diskriminasi atas dasar etnis, keyakinan dan golongan oleh kelompok masyarakat dan pemerintah.
Selain itu, ada warga yang telah bertahun-tahun menjadi pengungsi karena mereka terusir dari timpat tinggalnya akibat bencana, tetapi juga pengusiran terkait masalah-masalah sosial. Bahkan masih banyak orang yang dicabut kewarganegaraannya, karena tidak bisa memiliki kartu tanda penduduk (KTP) akibat perilaku diskriminatif pemerintah dan kelompok masyarakat.
Hal ini masih terjadi pada 88 tahun setelah Sumpah Pemuda. Situasi ini semestinya menjadi pekerjaan yang dituntaskan dalam peringatan Sumpah Pemuda. Kita perlu kerja nyata untuk menghentikan praktik yang melanggar konstitusi dan melecehkan ikrar para pemuda itu. Pemerintah tidak boleh membiarkan ini terjadi pada peringatan Sumpah Pemuda tahun depan.
Berkaitan ikrar sebagai satu bangsa, masih ada kerja besar untuk mengatasi sikap memecah-belah bangsa. Pemilihan kepala daerah yang penuh dengan isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) adalah kenyataan bahwa banyak pihak di negeri ini tidak menghargai perjuangan pemuda tersebut.
Apalagi, ada pihak yang mengangkat isu tentang presiden harus seorang pribumi atau orang Indonesia asli, bahkan ada yang menyebutkan harus dari kelompok keyakinan tertentu. Ini adalah sikap-sikap yang kontra semangat Sumpah Pemuda. Kenyataan ini semestinya menggerakkan kita menjadikan peringatan Sumpah Pemuda sebagai aksi menjunjung kesatuan bangsa.
Bahasa Persatuan vs Bahasa Perpecahan
Tentang bahasa persatuan, ikrar pemuda itu masih membutuhkan kerja keras untuk diwujudkan di seluruh Tanah Air. Sebagai contoh adalah masih banyak warga bangsa yang belum bisa berbahasa Indonesia. Di Provinsi Bengkulu, misalnya, sekitar 30 persen dari sekitar 1,8 juta penduduknya tidak bisa berbahasa Indonesia. Di Jawa Timur, masih ada sekitar tiga juta penduduk yang tidak bisa berbahasa Indonesia.
Di seluruh Indonesia, diperkirakan masih ada puluhan juta warga yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Bahkan mungkin mayoritas warga belum berbahasa Indonesia dengan lancar, apalagi berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Hal ini bukan hanya terjadi pada generasi tua, tetapi juga pada anak-anak, sehingga bahasa pengantar dalam pendidikan dasar di banyak daerah masih didominasi oleh bahasa daerah. Ini terjadi bukan dengan sadar untuk mempertahankan bahasa daerah yang terancam punah, tetapi karena kemampuan berbahasa Indonesia yang masih rendah.
Sayangnya, ini masih terjadi setelah 88 tahun ikrar pemuda itu, atau 71 tahun setelah Indonesia merdeka. Bahasa Indonesia masih harus diperjuangkan untuk menjadi bahasa persatuan, dan alat komunikasi kembangsaan. Kita masih harus bekerja keras memampukan seluruh bangsa Indonesia dalam berkomunikasi secara baik dengan berbahasa Indonesia.
Di sisi lain, wacana yang beredar masih banyak diwarnai oleh bahasa perpecahan, dan bukan bahasa persatuan. Perbedaan di tengah bangsa sebagai keniscayaan (wilayah, etnis, dan keyakinan, dan golongan) dibicarakan dalam bahasa diskriminasi yang mengancam perpecahan.
Tantangan yang harus dilakukan untuk menjaga semangat Sumpah Pemuda sekarang ini adalah menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi kebangsaan, dan dalam wacana memperkuat persatuan.
Peringatan Sumpah Pemuda semestinya bukan perayaan semata, tetapi lebih penting adalah kasi nyata yang konsisten utnuk mewujudkan satu bangsa yang memiliki satu Tanah Air dan dan bahasa persatuan.
Editor : Sabar Subekti
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...