Berinteraksi dengan Diksi Bervisi
”Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.” (Kolose 4:6)
SATUHARAPAN.COM - Kita patut bersyukur kepada Tuhan oleh karena Ia menganugerahkan kepada kita kemampuan untuk berbicara, untuk berkata-kata, mengungkap diksi, terminologi dalam hidup keseharian kita. Kata (word) itu sangat penting dan besar maknanya dalam membangun komunikasi dan relasi antarmanusia. Pada waktu kecil, ayah saya yang adalah seorang guru selalu memberi nasihat agar kata-kata yang sopan digunakan dalam berkomunikasi. ”Kata itu tidak harus dibeli, gunakanlah kata yang baik,” pesannya. Itu yang dipesankan berulang-ulang sambil menyitir peribahasa Sunda.
Dalam pengalaman empirik, nasihat orangtua itu terbukti dengan amat jelas. Kata-kata yang baik, sopan dan elegan, yang kita gunakan baik lisan maupun tulisan, berdampak besar bagi relasi antarpribadi dan institusi. Pilihan kata, istilah dalam berkomunikasi dengan orang lain, apalagi dalam hal yang dianggap sensitif sangat penting.
Oleh karena ”kata” adalah wujud dan wahana komunikasi antarmanusia maka fungsi dan peranan kata penting sekali di semua bidang kehidupan, baik di lingkup keluarga, komunitas, lembaga pemerintah dan swasta, parlemen, institusi keagamaan, dalam rumah ibadah, dan sebagainya. Di ruang publik, yang biasanya dipantau media, ataupun di ruang privat, dalam ibadah Gereja, kita harus sangat berhati-hati dalam memilih kata dan menggunakannya. Khotbah, Warta Jemaat, Tata Ibadah seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang standar.
Acap kali terjadi khotbah-khotbah Gereja menggunakan bahasa yang absurd, berbelit-belit, sehingga esensi dan message-nya tidak bisa ditangkap dan dicerna oleh warga jemaat. Belum lagi kesalahan mengeja, misalnya Republik Indonesia, dieja dengan ”Repoblik Endonesia”.
Kita memahami bahwa kata, bahasa, kalimat bukan sekadar deretan huruf yang kemudian membentuk bunyi. Kata, bahasa, kalimat dalam arti yang esensial dan luas adalah ekspresi pemikiran seseorang, gambaran struktur berpikir seseorang dalam kurun waktu dan konteks tertentu.
Kerancuan kalimat, adanya nuansa distortif dalam sebuah kalimat mencerminkan kerancuan dan distorsi yang terjadi dalam pemikiran seseorang.
Gereja harus mewartakan Injil hingga ke ujung bumi dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh umat dan publik. Dalam konteks ini, Gereja harus benar-benar memberi perhatian pada aspek kebahasaan agar pewartaan itu relevan dan tepat sasaran. Khotbah Gereja, administrasi, dan publikasi Gereja mesti berbasis pada pemahaman dan penguasaan kebahasaan yang standar.
Ayat Alkitab yang dikutip diawal tulisan ini bertujuan untuk mendorong umat agar mengungkapkan kata-kata penuh kasih, jangan hambar. Kata-kata yang bernapaskan kasih, penuh empati, menyenangkan, dan penuh rasa sayang memang amat dibutuhkan dalam berinteraksi dengan orang lain.
Pesan yang disampaikan pada abad-abad pertama kepada Jemaat Kolose yang hidup di tengah realitas kemajemukan ini masih tetap relevan bagi kita di zaman ini. Gereja dan komunitas Kristen Indonesia harus mampu menjadi komunitas yang menyuarakan bahasa kasih, elegan, dan penuh wisdom di tengah masyarakat majemuk yang nyaris hilang keberadabannya, tanpa membatasi dan/atau kehilangan suara profetisnya sebagai Gereja Yesus Kristus.
Di tengah rasa takut, cemas, gelisah yang menggerogoti kehidupan umat akibat Covid 19 dan dampak ikutannya, maka bahasa cinta kasih, empati, apresiasi mesti lebih banyak digunakn.Bahasa pastoral harus lebih dinyatakan, bukan bahasa menghakimi,bahasa tertib Gereja yang mengisolasi seseorang, dan menggiring umat bereksodus. Gereja harus menjadi pionir dan teladan dalam berbahasa Indonesia yang baik, benar dan standar pada level apapun, termasuk di medsos, di dunia maya. Figur-figur seperti Dr SAE Nababan, Dr Fridolin Ukur, Dr JLCH Abineno, Dr Eka Darmaputera, Dr TB Simatupang sejauh kedekatan saya dengan beliau-beliau adalah figur yang mahir berbahasa dan termasuk memperkenalkan istilah baru. Dr Abineno saya ingat lebih memilih kata "legitim" daripada " legitimate". Dr Nababan piawai dalam memberi makna konotatif pada sebuah kata. Dalam persidangan PGI dan interaksi PGI dengan pihak lain aspek konotasi sebuah kata sangat penting.
Di era pandemi, ditengah hangatnya iklim politik menuju tahun 2024, ditengah hasrat-hasrat mudarat yang dilarang agama, ditengah demoralisasi yang dipertontonkan seorang pendidik yang menggauli belasan anak didiknya, ditengah klaim bahwa NKRI adalah negara yang bangsanya 99,9 persen beragama dan yang kini mengarah ke posisi contradictio in terminis karena praktik amoral yang menjamur, maka bahasa yang sopan,elegan menjadi urgen.
Mari ungkapkan bahasa kasih ditengah dunia yang luka, sangar,garang dan demonis!
Selamat Menyambut dan Merayakan Hari Minggu, Selamat Memasuki Minggu Adven III.
God Bless!
Perayaan Natal di Palestina Masih Dibatasi Tahun Ini
GAZA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal di Palestina tahun ini hanya sebatas ritual keagamaan, mengin...