Berpidato di PBB, Mantan TKW Indonesia Kritik Pemerintah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) dari Indonesia, Eni Lestari, menyampaikan pidato di Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (KTT PBB) yang digelar di New York, Amerika Serikat.
Menurut informasi yang diterima Antara di Jakarta, Selasa, Eni Lestari, yang saat ini adalah pemimpin organisasi International Migrant’s Aliance (IMA), sebuah aliansi formal buruh migran yang dibentuk di Hong Kong pada tahun 2008 lalu, secara tegas mengungkapkan persoalan mendesak buruh mirgan dan pengungsi yang setelah bertahun-tahun tidak diperhatikan keberadaanya dan kontribusinya terhadap negara.
Perempuan kelahiran Kediri ini menganggap PBB dan dunia, baru memberikan perhatian setelah persoalan migran dan pengungsi semakin meningkat, bahkan setelah banyak yang menjadi korban. Eni Lestari meminta komitmen negara untuk mengutamakan keadilan dan perlindungan terhadap buruh migran, serta tidak menghancurkan keluarga migran atas nama pembangunan.
Eni menyampaikan bahwa pemerintah harus membangun sebuah masa depan yang mengandalkan kekuatan rakyatnya, bukan untuk melanjutkan ekspor dan eksploitasi tenaga kerja migran.
Selain itu, Eni juga mengkritisi pemerintah yang telah memanfaatkan kerentanan buruh migran melalui aturan yang mengeksploitasi dan memperkuat ketidakberadaan buruh migran, bahkan buruh migran sering dianggap sebagai ancaman keamanan.
"Sebagian besar dari kami, janji tentang masa depan yang lebih baik sudah menjadi kebohongan," kata dia, yang pernah bekerja sebagai TKI di Hong Kong.
"Kami terjerat utang, diperdagangkan, terjebak dalam perbudakan, hak-hak dasar kami dinafikkan, kami rentan terhadap penyiksaan. Banyak di antara kami hilang dan bahkan meninggal dunia. Mimpi kami telah menjadi mimpi buruk," tambah Eni, sebagaimana dilansir dari BBC.
Tahun ini, Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dimulai pekan ini secara khusus mengangkat isu mengenai pengungsi dan buruh migran. Organisasi multilateral itu telah memilih Eni Lestari sebagai salah satu dari beberapa orang untuk berbicara mengenai kedua isu tersebut.
Eni terpilih setelah sebagai pemimpin IMA yang beranggotakan 120 organisasi buruh migran dari 19 negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin itu memasukkan aplikasi mewakili organisasinya. Aplikasi itu kemudian diseleksi oleh sebuah komte yang dibentuk PBB. Ada sekitar 400 yang mengajukan aplikasi yang dalam prosesnya disaring menjadi sembilan orang. Eni diberi waktu untuk berpidato selama 3 menit. Tokoh lain yang mendapat kesempatan berbicara adalah aktivis asal Irak, Nadia Taha dan aktivis Suriah, Mohammed Badran.
Sementara itu, Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Sringatin mengapresiasi langkah Eni dalam pencapaiannya bisa berpidato di tingkat PBB.
"Kami tahu hal itu tidak mudah dan instan untuk terpilih sebagai pembicara dan mewakili suara 244 juta migran lainya di dunia. Perlu perjuangan yang panjang dan secara terus-menerus agar suara kami bisa kami sampaikan sendiri dan didengarkan oleh pemerintah secara langsung," kata Sringatin.
Sringatin menjelaskan bahwa pesan singkat Eni Lestari telah mewakili suara dan tuntutan migran dunia seperti yang selama ini dituntut. "Apa yang disampaikannya itu benar dan kami adalah saksi ketidakadilan, kekerasan dan eksploitasi yang kita lihat dan rasakan setiap hari," tuturnya.
Ia mengharapakan dengan momentum ini, pemerintah Indonesia harus semakin membuka diri, mendengarkan tuntutan migran, dan segera mengambil langkah-langkah strategis untuk memperbaiki permasalahan buruh migran Indonesia dengan memastikan sistem yang adil dan perlindungan yang kuat bagi warganya.
Editor : Eben E. Siadari
Baca juga:
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...