BI Harap Pertukaran Data Nasabah Tidak Dikhawatirkan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bank Indonesia memandang tidak semestinya timbul kekhawatiran dalam diri nasabah dan institusi perbankan menyusul rencana pemerintah untuk menerbitkan Perppu terkait pertukaran data nasabah bank guna kepentingan perpajakan.
Pasalnya, menurut Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, penerapan amnesti pajak (tax amnesty) sudah membuka informasi keuangan wajib pajak atau masyarakat yang selama ini belum tergali atau sengaja disembunyikan oleh wajib pajak itu.
Oleh karena itu, jika nasabah perbankan taat pajak atau menjadi partisipan amnesti pajak, kata Mirza, pertukaran data nasabah bank seharusnya tidak dipermasalahkan.
"Kalau ada perubahan pada pasal kerahasiaan bank seharusnya pembayar pajak tidak keberatan, karena sudah transparan melalui UU Amnesti Pajak. Kalau harus bisa dicek, semestinya tidak masalah," kata Mirza di Jakarta, hari Jumat (24/2).
Mirza mengingatkan, keterbukaan informasi perbankan guna perpajakan merupakan bagian dari upaya meningkatkan penerimaan pajak. Penyebab rendahnya penerimaan pajak selama ini adalah basis data pajak yang buruk dan kepatuhan wajib pajak.
Maka dari itu rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia stagnan di 11,5 persen dan target penerimaan pajak kerap gagal tercapai. Padahal pemerintah membutuhkan peningkatan penerimaan pajak untuk membiayai pembangunan demi kepentingan masyarakat luas.
"Kalau di negara lain bisa 15 persen rasio pajak terhadap PDB, Indonesia harusnya memiliki rasio pajak yang lebih tinggi. Mungkin ada aset-aset yang belum tergali," ujar Mirza.
2018
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, memastikan pemerintah akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mendukung implementasi "Automatic Exchange of Information (AEoI)" yang telah disepakati oleh 101 negara untuk saling memberikan informasi, khususnya keterangan mengenai perpajakan di 2018.
Langkah penerbitan Perppu itu diambil pemerintah karena jika merujuk landasan Undang-Undang yang ada, yakni Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (KUP), pembukaan data nasabah tidak diperbolehkan.
Sedangkan proses revisi dua UU tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dikhwatirkan akan memakan waktu lama. Padahal pemerintah dan otoritas terkait harus memiliki payung hukum untuk pembukaan data perbankan sebelum impelemntasi AEoI pada 2018.
Rancangan Perppu tersebut masih digodok oleh Kementerian Keuangan dan Kemenko Perekonomian.
Otoritas Jasa Keuangan menyatakan Perppu yang sedang disiapkan pemerintah akan terkait dengan pasal-pasal kerahasiaan bank di empat UU yakni UU Perbankan, Perbankan syariah, UU Pasar modal, dan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...