BI Perkirakan 2017 Harga Komoditas Strategis Akan Meningkat
BANDUNG, SATUHARAPAN.COM - Bank Indonesia memperkirakan harga mayoritas komoditas strategis akan meningkat sepanjang 2017 dan akan menjadi pendongkrak nilai ekspor sebagai salah satu komponen pendorong pertumbuhan ekonomi.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Yoga Affandi, di Bandung, hari Sabtu (18/2), mengatakan harga sejumlah komoditas yang terkoreksi negatif pada 2016 karena lesunya permintaan, seperti tembaga, nikel, dan alumunium, akan meningkat.
Pulihnya harga komoditas tersebut diperkirakan beberapa kalangan karena proyeksi peningkatan pertumbuhan ekonomi global, mulai pulihnya investasi dan masalah surplus pasokan yang kini diperkirakan berkurang.
Yoga memperkirakan, batu bara akan mengalami kenaikan harga paling tinggi hingga 21,5 persen.
"Kami lihat angkanya mulai positif. Kami memandang, tahun 2017 bisa menjadi tahun yang positif," kata dia.
Sementara, harga tembaga yang terkoreksi 11,7 persen pada 2016, diperkirakan akan naik 12,4 persen pada 2017, nikel naik 1,7 persen, dan alumunium naik 13,5 persen.
Berdasarkan data kajian bank sentral, harga timah juga diproyeksi naik menjadi 15,2 persen tahun ini. Kemudian, harga komoditas karet dan tembaga, yang masing-masing mengalami peningkatan mencapai 12,8 persen dan 12,4 persen. Padahal, pada tahun lalu karet tercatat minus empat persen. Sementara tembaga, juga minus 11,7 persen.
Di samping itu, bank sentral juga memperkirakan harga kopi akan naik 8,7 persen, harga nikel naik 1,7 persen, dan komoditas lain juga naik 1,5 persen.
Adapun harga minyak kelapa sawit tahun ini, diproyeksikan naik 5,3 persen, atau lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai 19,8 persen.
"BI melihat harga komoditas bisa memperbaiki penerimaan ekspor non minyak dan gas. Ini akan menyumbang penguatan nilai tukar rupiah," kata dia.
Dengan perkiraan kenaikan harga komoditas tersebut yang akan mengerek naik nilai ekspor, BI memandang pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 akan bergerak di rentang 5-5,4 persen.
Perbaikan ekspor juga membuat BI memprediksi defisit transaksi berjalan akan sebesar 2,11 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau lebih baik dari perkiraan sebelumnya, namun meningkat jika dibandingkan realisasi pada 2016 sebesar 1,75 persen terhadap PDB. (Ant)
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...