BI Toleransi Pelemahan Rupiah Sampai 3,5 Persen
HONG KONG, SATUHARAPAN.COM - Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, mengatakan depresiasi rupiah sampai di kisaran 3-3,5 persen masih dapat ditoleransi di Indonesia. Namun, depresiasi di atas level itu, kata dia, tidak lagi dapat ditoleransi, kecuali jika berlangsung hanya sementara.
Mirza mengatakan hal itu dalam wawancara dengan CNBC di sela-sela acara Credit Suisse Asian Investment Conference di Hong Kong, kemarin (24/3).
"Depresiasi di atas level itu, saya kira tidak dapat ditoleransi, namun bila hal itu terjadi hanya sementara waktu karena kegelisahan pasar menunggu pertemuan Federal Open Market Committe (bank sental AS, red) pada April dan Juni, itu masih dapat diterima," tutur dia. "Tetapi di atas level itu, kami pikir tidak dapat diterima."
Nilai tukar rupiah, menurut Antara, pagi ini (25/3) pada transaksi antarbank di Jakarta bergerak menjadi Rp12.910 per dolar AS dibandingkan posisi sebelumnya Rp12.901 per dolar AS.
Kendati sudah menguat dibandingkan dengan pekan lalu yang sempat melemah hingga menembus Rp 13.000 per dolar AS, nilai tukar di level ini masih jauh lebih lemah dari Rp 9.700 per dolar AS pada pertengahan 2013, ketika mata uang rupiah terpukul berat setelah Gubernur Bank Sentral AS kala itu, Ben Bernanke, pertama kali mengisyaratkan bahwa pihaknya akan memulai mengurangi pembelian aset-aset dari pasar keuangan. Isyarat itu telah memicu pelepasan saham dan surat-surat berharga oleh para investor di emerging market, dan dana-dana investasi portofolio pun meninggalkan Indonesia karena kekhawatiran atas ketidakmampuan pemerintah menanggulangi defisit neraca transaksi berjalan.
Menurut ekonom Samuel Sekuritas, Rangga Cipta, rupiah telah melemah 3,5 persen sejak langkah BI menurunkan tingkat bunga terakhir pada pertengahan Februari lalu. Sementara bila dibandingkan dengan nilai tukar rupiah Desember, rupiah sudah mengalami depresiasi sebesar 6 persen. Sedangkan apabila mengacu pada hasil rapat Dewan Gubernur BI, Maret, nilai tukar rupiah menurut BI, baru terdepresiasi rata-rata 1,38 persen bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya (month to month) dan 1,99 persen bila dibandinkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (point to point).
Dalam wawancara tersebut,Mirza menekankan bahwa BI tetap hadir di pasar uang untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah.
"Pasar valuta asing Indonesia bukan pasar yang besar," kata dia, dan memperkirakan perdagangan valuta asing berkisar US$ 3 miliar- 5 miliar per hari, termasuk permintaan valas dari korporasi. Ia membandingkannya dengan negara tetangga, Thailand dan Malaysia yang berkisar US$ 10-15 miliar per hari.
"BI berada di pasar untuk memasok dan kemudian mengurangi gejolak," tutur dia.
Salah satu kekhawatiran Mirza adalah kesalahan pasar membaca keputusan BI yang memotong suku bunga acuan pada pertengahan Februari lalu yang mengejutkan pasar. Sejumlah pelaku pasar menginterpretasikannya bahwa BI akan memperlonggar kebijakan moneter. Namun, ia menegaskan sebaliknya.
"Kebijakan kami masih tetap dalam bias ketat," kata Mirza. "Ketika kami memotong suku bunga pada Februari, itu dikarenakan kami menaikkannya pada bulan November, yang pada waktu itu, kami tidak tahu bahwa pemerintah akan melaksanakan reformasi energi," tutur dia.
Pada bulan November, pemerintah mengumumkan menaikkan harga BBM sampai lebih dari 30 persen yang memunculkan kehawatiran meningkatnya inflasi. Mirza mengatakan inflasi bisa meningkat 200 basis poin hingga di atas 4,7 persen pada waktu itu. Tetapi setelah pemerintah memastikan tidak ada kenaikan tarif listrik bagi masyarakat miskin, prospek inflasi pun berubah menjadi sekitar 4 - 4,5 persen.
"Itulah alasan mengapa di bukan Februari kami menurunkan suku bunga, tetapi itu bukan berarti dimulainya kebijakan moneter yang longgar sebab kami masih menghadapi situasi defisit neraca transaksi berjalan," tutur dia.
Editor : Eben Ezer Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...