Biarawati Gunakan Media Sosial Untuk Sampaikan Pesan ke Khalayak
Tetapi ketika Anda diancam atau dihina, Anda berhadapan dengan pancingan.
SATUHARAPAN.COM - Paus Fransiskus mungkin tidak menyadari banyaknya kegunaan dan penyalahgunaan media sosial ketika ia menyebut gereja Katolik sebagai gereja yang memar, kotor dan terluka yang harus menyatu dengan dunia abad ke-21 yang harus dilayani oleh gereja.
Tetapi, ketika teknologi sudah menjangkau para biarawati, maka ruang Twitter menjadi perwakilan kehadiran gereja. Xiskya Valladers, suster asli Nikaragua yang melayani di Mallorca, memiliki 32.000 followers, ia baru saja menerbitkan sebuah buku tentang bagaimana kesetiaan ditunjukkan melalui media sosial sebagai warta baik bagi kaum religius maupun sekuler.
“Paus Fransiskus sendiri telah mengundang kami untuk membangun gereja yang melihat keluar melalui dialog dengan dunia. Jaringan sosial membuatnya menjadi mudah. Kita tidak seharusnya terus-menerus mengirimkan orang pesan religius yang artinya kita hanya berbicara dengan orang yang berpikir seperti kita, yang harus kita lakukan adalah masuk ke dalam sebuah dialog dengan dunia bukan untuk menunjukkan ide tetapi untuk mencari apa yang dibutuhkan orang dan apa yang mereka kuatirkan, dan menanggung bersama apa yang mereka rasakan,” ujar Valladers.
“Buku yang saya tulis ini adalah untuk semua orang yang ingin menguasai internet sama seperti kami Katolik. Semua orang menghadapi masalah yang sama, dan Anda tidak perlu menjadi Katolik untuk tertarik kepada buku ini,” tambah Valladers.
Suster Valladers memberikan tips bagaimana membangun sebuah komunitas digital, mengembangkan inisiatif, dan menyediakan informasi yang berguna. Ini memerlukan hashtag atau tanda pagar yang eksplosif, menggunakan foto dan video, mendengarkan pandangan orang lain, dan di atas semuanya adalah menyadari bahwa Twitter lebih dari sekadar papan pengumuman atau tempat mengekspresikan rasa.
“Memahami bagaimana merespon umpan adalah penting, membangun komunitas berarti Anda harus mengawasi orang yang mencari kesempatan untuk membuat kericuhan dan mengganggu komunitas. Pertama Anda harus tahu bagaimana menghadapi pancingan, karena kadang itu hanya sebuah kritikan negatif yang dapat membantu pembangunan percakapan. Kalau begitu, bicaralah kepada mereka. Tetapi ketika Anda diancam atau dihina, Anda berhadapan dengan pancingan. Hal terbaik yang dilakukan adalah diamkan mereka,” papar Valladers.
“Kadang kediaman Anda membuat mereka berekasi dan kembali ke dialog, justru membuat mereka panas. Bila itu terjadi sampaikan kalimat-kalimat positif kepada mereka. Bila ada orang yang radikal, fanatik, dan keras, janganlah bersikap keras kepada mereka karena mereka ada untuk menjadi penyeimbang hidup. Twitter bukanlah sebuah realitas virtual, ia adalah realitas digital, yang berarti ia mengungkapkan ekspresi secara digital bukan fisik, tetapi ia tetap sebuah realitas,” tambah Valladers. (theguardian.com/spw)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...