Biksu Myanmar Bangun Pagoda di Kompleks Gereja dan Masjid
YANGON, SATUHARAPAN.COM - Pemimpin umat Kristen Myanmar menyerukan kepada warga untuk tenang, Rabu (27/4), setelah seorang biksu Buddha terkemuka membangun sejumlah pagoda di dalam kompleks gereja dan di dekat masjid di tengah ketegangan antarumat beragama.
Insiden itu, bermula pada bulan lalu ketika para pendukung biksu Myaing Kyee Ngu mendirikan patung keagamaan, dan menancapkan bendera Buddha di lahan gereja di Negara Bagian Karen, Myanmar timur.
Mereka kemudian kembali datang pada Minggu (24/4) untuk mendirikan sebuah pagoda, menurut pernyataan Uskup Anglikan, Saw Stylo.
Lalu, mereka mendirikan sebuah pagoda lain dekat masjid di desa Muslim di Kota Hlaingbwe.
"Oleh karena itu, saya meminta kepada warga, baik Buddha, Muslim, atau Kristen untuk tidak melakukan hal yang melanggar hukum,” kata Saw Stylo, uskup wilayah Karen, Mon, dan Tanintharyi.
Myanmar, sudah sekian lama dilanda konflik agama, antara kelompok mayoritas Buddha dan berbagai kelompok agama minoritas.
Ketegangan kian memanas, setelah meletusnya aksi kekerasan pada 2012 di Negara Bagian Rakhine, antara umat Buddha dan warga Muslim Rohingya, yang menewaskan sejumlah orang. Puluhan ribu warga Rohingya kini terkatung-katung di kamp pengungsian.
Sejak peristiwa itu, lelompok nasionalis Buddha semakin vokal dan mereka juga dituding memengaruhi partai pimpinan Aung San Suu Kyi, untuk tidak mencalonkan politikus Muslim dalam pemilu tahun lalu yang dimenangkan oleh partai prodemokrasi tersebut.
Masih belum jelas apa yang ada di balik pembangunan pagoda baru-baru ini di Negara Bagian Karen. Tetapi, kantor MP lokal Saw Chit Khin kepada AFP mengatakan, otoritas Buddha telah menulis untuk biarawan itu untuk mendesak dia menghentikan membangun.
"Kami merasa sangat khawatir dan sensitif tentang hal itu. Ini mungkin politik serta agama," kata Saw Stylo.
"Saya sangat tertarik pada bagaimana pemerintah baru akan membawa Myanmar ke masa depan yang lebih cerah. Itulah sebabnya saya meminta semua orang untuk tetap tenang dalam kasus ini," katanya.
Komunitas Kristen di daerah etnis minoritas, telah selama bertahun-tahun mengeluhkan gangguan-gangguan oleh umat Buddha, terutama melalui kehadiran militer. Populasi umat Kristen dan Muslim tidak lebih dari empat persen. Tapi pada sensus 2014 di Myanmar adanya kekhawatiran kenaikan jumlah populasi bisa memicu permusuhan.(AFP/Ant)
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...