BMKG: Meski Kemarau Tetap Waspadai Cuaca Ekstrem
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Deputi bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Herizal mengimbau semua pihak agar tetap waspada terhadap cuaca ekstrem meski saat ini memasuki musim kemarau.
"Meski musim kemarau, waspada terhadap cuaca ekstrem. Harus tetap diperhatikan karena wilayah kita sangat luas," kata Herizal di Jakarta, Kamis (21/6).
Dia mengatakan, cuaca di Indonesia hanya terdiri atas dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Saat ini 60 persen wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau, sedangkan 40 persen sisanya pada masa transisi antara musim hujan ke musim kemarau.
"Biasanya musim kemarau kita fokus pada kebakaran hutan dan lahan, tapi kita lupa bicara musim kemarau bukan berarti tidak ada hujan sama sekali, apalagi wilayah kita sangat luas," kata dia.
Meski menghadapi kemarau, karena wilayah yang luas, bisa saja di NTT sedang kering, tapi di Sumatera Utara terjadi hujan lebat. Karena ketidaksiapan bisa terjadi bencana seperti banjir dan tanah longsor.
"Karena itu kita harus siaga di segala musim. Saat kemarau bukan hanya siaga karhutla tapi juga perlu mewaspadai cuaca ekstrem seperti hujan lebat yang dapat menyebabkan banjir dan tanah longsor," katanya.
Seperti yang diutarakan Kepala BMKG, Dr Dwikorita Karnawati, melalui video conference di Jenewa, yang mengutarakan bahwa masyarakat perlu mewaspadai kondisi cuaca ekstrim yang terjadi akhir-akhir ini, meskipun pada Juni ini sebagian besar wilayah Indonesia telah masuk musim kemarau.
"Berdasarkan pantauan BMKG, 7 hari ke depan diprakirakan masih akan terjadi anomali cuaca, akibat adanya tekanan rendah di Samudera Pasifik sebelah timur Filipina, serta udara basah dari Samudera Hindia dan sirkulasi siklonik di wilayah Samudera Hindia Barat Bengkulu, Selat Karimata, dan Selat Makassar. yang mengakibatkan adanya pola pertemuan aliran udara di Bagian Selatan Kalimantan, Perairan Selatan Bangka Belitung, Sumatera Selatan-Lampung, Bengkulu hingga Samudera Hindia, " kata Dwikorita.
Ia pun menambahkan, terdapat belokan angin di wilayah Aceh dan Sumatera Utara.
Kondisi itulah yang menyebabkan peningkatan cuaca ekstrem, seperti hujan sedang-lebat yang disertai petir dan kilat serta angin kencang yang terjadi di wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
Potensi cuaca ekstrem pun dapat menyebabkan terjadinya potensi gelombang tinggi 2,5 hingga 4 meter, yang diprakirakan terjadi di Perairan Utara dan Barat Aceh, Perairan Utara Sabang, Perairan Barat Pulau Simeuleu hingga Kep Mentawai, Perairan Bengkulu hingga Perairan Barat Lampung, Selat Sunda bagian selatan, Perairan Selat Jawa hingga Sumbawa, Selat Bali-Lombok-Alas bagian selatan, Perairan Selatan P. Sumba-P. Sawu, Laut Timor Selatan NTT, Samudera Hindia Barat Sumatera hingga selatan NTT.
Sementara Deputi Bidang Meteorologi, Drs Mulyono R Prabowo di depan media massa mengutarakan, BMKG terus memberikan layanan informasi cuaca di berbagi sektor penerbangan, dan kemaritiman sebagai langkah kesiapsiagaan terhadap kemungkinan dampak dari cuaca ekstrem.
"Puncak musim kemarau diprakirakan terjadi pada Agustus-September 2018, dan berakhir pada November 2018, seiring dengan awal musim hujan 2018/2019," kata Prabowo.
Prabowo pun mengimbau, agar masyarakat yang sedang berlibur di wisata pantai perlu mewaspadai gelombang tinggi, seperti di Pantai Parangtritis,Yogyakarta sebelah timur, beberapa hari ke depan karena adanya peningkatan gelombang tinggi. (Antaranews.com/bmkg.go.id)
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...