Boleh Kampanye, Boleh Berpihak dalam Pemilu, Itu Hak Jokowi atau Presiden?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa presiden boleh berkampanye dan memilihak dalam Pemilu. Dia menegaskan bahwa aturan terkait kampanye telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
UU tersebut juga menjelaskan bahwa presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk melaksanakan kampanye. “… di pasal 299 bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye,” katanya yang ditayangkan Youtube Sekretariat Presiden pada Jumat, 26 Januari 2024.
UU memang menyebutkan begitu, namun perlu dibaca ayat (3) bahwa itu untuk presiden dan calon presiden yang mencalonkan lagi dalam Pemilu, atau sebagai anggota tim kampanye, pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU.
Penyebutan “presiden” sebenarnya menunjuk pada institusi atau lembaga, sehingga kita patut mempertegas: siapa yang memiliki hak (berkampanye, berpihak dan memilih): itu hak pada institusi (presiden) atau pada individu (dalam konteks ini Joko Widodo, seorang yang saat ini sedang menjabat sebagai presiden). Kalau yang memiliki hak adalah presiden, sebagai institusi, lalu menimbulkan pertanyaan: bagaimana insitusi menggunakan haknya, sesuai syarat yang ditentukan pada pasal berikutnya, termasuk tentang tidak menggunakan fasilitas negara. Semestinya hak itu pada individu (yang sedang menjabat), bukan institusi.
Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) memberi komentar yang semakin menunjukkan problematika aturan ini, yang disebutkan bahwa presiden harus mengajukan cuti untuk melakukan kampanye. Apakah artinya bahwa Joko Widodo harus mengajukan cuti pada presiden? Kalau mengajukan cuti, kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara sementara dipegang siapa? Apakah Wakil Presiden, karena kita diingatkan untuk tidak boleh ada kekosongan kekuasaan?
Lagi pula, presiden dalam konstitusi Indonesia tidak saja sebagai kepala pemerintahan, kepala negara, dan juga sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata. Apa presiden juga harus mengajukan cuti sebagai panglima pertinggi angkatan bersenjata, kalau di akan ikut kampanye?
UUD 1945 pasal 10 menyebutkan: “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara”. Kekuasaan tertinggi presiden atas angkatan bersenjata bermakna pula bahwa presiden berkedudukan sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata.
Bagaimana kalau panglima tertinggi angkatan bersenjata boleh kampanye dalam pemilu, dan boleh berpihak, tetapi sebaliknya, para prajurit harus netral dalam Pemlu? Terlihat ironis, kan? Posisi sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata berpotensi terjadi konflik kepentingan dalam keberpihakan di Pemilu, sama halnya presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.
Masalah ini memang berpotensi diperdebatkan, karena memang cenderung abu-abu. Namun itu tidak harus terlihat dilematis, karena bagi seorang negarawan sejati, masalah “konflik kepentingan” seperti ini tidaklah terlihat abu-abu, ketika dengan tegas yang dipegang adalah kepentingan negara, kepentingan rakyat.
Ikut kampanye dan berpihak (juga memilih) itu adalah hak, boleh dipakai, boleh tidak dipakai, jika konteksnya adalah hak bagi Jokowi. Tetapi dalam posisi orang yang sedang menjabat presiden (kepala pemerintahan, kepala negara, panglima tertinggi angkatan bersenjata), bukan hanya hak yang ada, tetapi kewajiban untuk negara, termasuk agar Pemilu berlangsung dengan prinsip Luber Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil). JIka terjadi konflik kepentinga, seorang negarawan sejati pasti memilih kewajiban, ketimbang menggunakan hak.
Editor : Sabar Subekti
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...