Bukan Hanya “Hak Demokrasi”, Tapi Tuntutan Koreksi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Pemilihan Umum (Pemilu 2024) mendapat sorotan tajam dan kritik, karena nilai-nilai demokrasi dan kualitas penyelenggaraannya turun, dengan sejumlah pelanggaran mencolok yang tampaknya dibiarkan saja.
Puluhan perguruan tinggi, para mahasiswa, dosen dan guru besar, telah mengeluarkan pernyataan keprihatinan itu, dengan sorotan tajam yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, terutama setelah dia menyatakan presiden berhak kampanye, dan berhak memihak dalam Pemilu.
Pernyataan berisi keprihatinan dan kritik itu diumulai dari kampus almamater Jokowi, Universitas Gadjah Mada, dan kemudian disusul oleh kampus negeri maupun swasta lainnya. Dan belakangan muncul berita ironis, karena ada upaya menekan kampus untuk meredam kritik.
Kritikan dimulai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tetang syarat calon persiden dan wakil persiden yang memberi jalan bagi anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka jadi Cawapres mendapingi Prabowo Subiyanto. Keputusan ini dinilai Majelis Kehormatan KM sebagai pelanggaran etika berat.
Kemudian Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga dinilai oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melakukan pelanggaran etik, karena menerima pendaftaran Gibran berdasarkan aturan lama. Hal-hal itu disorot sebagai upaya membangun politik dinasti.
Belum lagi Jokowi disorot karena membagikan bantuan sosial di daerah Jawa Tengah secara gencar dan dinilai sebagai tindakan “menyerang” kandidat lawan anaknya, juga membagikan bansos di pinggir jalan di Jakarta. Di Gunung Kidul, Yogyakarta, ada insiden di mana ada perintah untuk mencabut bedera Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, karena presiden akan berkunjung ke wilayah itu.
Peristiwa-peristiwa itu yang antara lain memicu lebih dari 30 kampus bersuara, karena dinilai akan merusak demokrasi, dan bisa menimbulkan masalah, termasuk kredibilitas hasil pemilu 2024 yang pemungutan suaranya akan berlangsung pada 14 Februari mendatang. Dan belakangan mahasiswa pun mulai turun ke jalan menyuarakan protes yang sama.
Sayangnya, Presiden Jokowi tidak cukup memberi tanggapan yang memadai untuk masalah ini. Dia memang belakangan menyebutkan tidak akan berkampanye, meskipun bersikeras presiden punya hak berkampanye. Namun secara samar juga menunjukkan dukungan pada partai yang dipimpin anaknya yang lain, Kaesang Pangarep.
Jokowi hanya mengatakan bahwa ‘itu hak demokrasi’ terhadap suara dari puluhan kampus itu. Masalahnya, suara kampus ini bukan hanya berdasarkan hak demokrasi, dan bukan tentang hak demokrasi, tetapi ada tuntutan nyata untuk koreksi atas situasi sekarang, agar Pemilu 2024 tidak menimbulkan masalah yang akan ditanggung bangsa ini dalam tahun-tahun berikutnya.
Banyak pihak menilai Presiden tidak cukup melakukan koreksi berdasarkan tuntutan kritik itu, untuk mencegah timbulnya masalah-masalah dalam pemilu yang sebentar lagi berlangsung.
Editor : Sabar Subekti
KPK Tetapkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, Tersangka Kasus...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perju...