Bom Sasar Gereja di Tanzania: Gambaran Pelanggaran Kebebasan Beragama Internasional
DODOMA, SATUHARAPAN.COM - Gereja Roma Katholik di kota Arusha, Tanzania mendapat serangan bom pada hari Minggu (05/05) saat gereja itu diresmikan. Peristiwa ini menelan korban satu orang dan 50 lainnya luka-luka. Dalam acara itu turut dihadiri Uskup Agung Arusha yang menjadi Duta Vatikan untuk Tanzania.
Seorang pendeta setempat, Bapa Peddy memberi keterangan mengenai satu korban yang meninggal dunia adalah seorang perempuan. “Ada kemungkinan tiga orang lainnya meninggal saat mereka dibawa ke rumah sakit,” tambah pendeta itu.
Menanggapi hal ini Menteri Luar Negeri Tanzania, Bernard Membe menyatakan keterkejutannya melalui akun Twitter. Pihak kepolisian manyatakan bahwa tersangka telah ditangkap. Kejadian yang terjadi di pinggiran Olasiti ini adalah satu dari sekian kekerasan berbau agama yang kian bertambah di Tanzania.
Di negara itu akhir-akhir ini mengalami peningkatan kekerasan antar agama (Kristen - Islam). Bulan lalu, polisi Tanzania selatan menggunakan gas air mata untuk membubarkan sekitar 200 perusuh Kristen yang mencoba membakar masjid karena permasalahan hewan korban. Pada bulan Februari, di pulau yang sebagian besar Muslim Zanzibar seorang imam Katolik juga ditembak.
Laporan Tahunan USCIRF (annual report) 2013
Komisi Kebebasan Beragama Amerika Serikat (US Commission on International Religious Freedom/USCIRF) yang memantau aksi pelanggaran kebebasan beragama internasional meluncurkan laporan tahunannya pada akhir April (30/04).
USCIRF ini dikenal sebagai pihak yang membidani lahirnya UU Internasional Kebebasan Beragama (International Religious Freedom Act/IRFA) pada tahun 1998. IRFA ini di luncurkan sebagai tanggapan atas meningkatnya pelanggran terhadap kebebasan beragama internasional. Banyaknya pelanggaran ini ibarat minyak yang siap disulut dengan api.
Pelanggaran ini biasanya dilakukan oleh kelompok tertentu maupun oleh pemerintah negara setempat. Dr. Katrina Lantos Swett yang menjabat sebagai direktur USCIRF mengatakan bahwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama antara lain adalah serangan fisik maupun pembunuhan.
Pola yang biasanya terjadi adalah tekanan ekstrimisme agama dari kelompok mayoritas kepada minoritas. “Selain itu juga pola kelambanan pemerintah untuk mengambil tindakan atau otoriterisme pemerintah melalui jaring rumit dan aturan diskriminatif, sewenang-wenang dan persyaratan atau fatwa-fatwa yang kejam,” tambah direktur itu.
Indonesia Masuk Laporan Tahunan USCIRF (annual report) 2013
Dalam Laporan Tahunan USCIRF 2013 (annual report), negara-negara yang menunjukkan adanya peningkatan kasus pelanggaran kebebeasan beragama dan membutuhkan perhatian internasional antara lain: Myanmar, Cina, Eritrea, Iran, Korea Utara, Arab Saudi, Sudan, Uzbekistan, Mesir, Irak, Nigeria, Pakistan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Vietnam.
Disebutkan bahwa pelanggaran dari deret negara itu meliputi kekerasan terhadap Muslim Rohingya di Burma, Kristen Koptik di Mesir, para penganut Budha, Muslim Uighur dan Falun Gong di China, kaum Bahai di Iran, Ahmadiyah dan Kristen di Pakistan, atau kekerasan kepada orang Muslim di negara-negara Islam seperti Arab Saudi dan Uzbekistan dan atau di negara non-Muslim seperti Rusia.
Indonesia sendiri termasuk salah satu negara yang masuk dalam annual report USCIRF sebagai negara yang memerlukan pengawasan internasional. Indonesia bersama Afganistan, Azerbaijan, Kuba, India, Kazakhstan, Laos, dan Rusia dinilai telah melakukan pelanggaran keras terhadap IRFA.
Khusus Indonesia yang kaya akan keberagaman dan toleransi justru diwarnai dengan kekerasan oleh individu maupun kelompok ekstrimis. Mulai dari penangkapan, hasutan, peradilan, sering terjadi dan justru dilakukan oleh pejabat negara, kepolisian, dan para pemimpin agama.
Editor : Yan Chrisna
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...