BPOM Didesak Memperketat Pembuatan dan Distribusi Obat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Marius Widjajarta selaku Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia menilai maraknya obat kadaluarsa di pasaran membuktikan pengawasan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) lemah. Pengawasan perlu diperketat terhadap obat, mencakup ranah hulu dan hilir.
“Selama ini yang ditangani yang hilir, penertiban terhadap toko obat yang menjual obat ilegal dan obat kadaluarsa. Tapi pengawasan di bagian hulu, pembuatan obat dan distribusinya, tidak pernah diutak-atik,” kata Marius.
BPOM, kata Marius, memiliki ‘dinamika produksi bahan baku hingga distributor’. Laporan itu seharusnya berisi jumlah obat yang tidak laku, lalu kadaluarsa, dan dikembalikan ke produsen.
“Laporannya banyak yang tidak ada. Padahal, dari situ bisa ketahuan, misalnya satu produsen mengolah bahan baku sebanyak satu kilogram lalu memproduksi seribu kapsul. Kemudian distribusi kapsul itu ke mana saja,” kata Marius.
Ketiadaan laporan yang mendeteksi produksi obat dan peredarannya itulah, menurut Marius, membuka banyak celah.
Namun, pernyataan Marius ditepis Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) DKI Jakarta, Dewi Prawitasari. Menurutnya, pengawasan bukan hanya tugas pemerintah, melainkan juga tugas pelaku usaha dan dari masyarakat.
”Yang namanya distribusi ilegal itu akan selalu ada. Kita selalu mengawasi, tapi kita ajukan ke pengadilan, putusan pengadilan tidak membuat jera. Karena hanya hukuman percobaan dan denda Rp 50 juta. Sehingga akan terus-menerus dilakukan,” kata Dewi Prawitasari, seperti dikutip dari bbc.com.
Di Pasar Pramuka, ada berbagai kios yang menjual obat. Pada dasarnya, menurut Dewi, kios-kios itu terbagi menjadi dua kategori, apotik rakyat dan toko obat. Toko obat hanya diizinkan menjual obat dengan kemasan berlogo bulatan hijau dan bulatan biru. Obat dengan bulatan hijau artinya dijual secara bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter, seperti parasetamol.
Adapun obat dengan bulatan biru disebut pula obat bebas terbatas, karena meskipun obat keras, obat itu dapat diakses bebas tanpa resep dokter. Contoh obat dengan bulatan biru adalah sejumlah obat batuk tablet dan sirup.
Akan tetapi, toko obat tidak diperkenankan menjual obat daftar G (gevaarlijk/bahaya) alias obat keras, yang bila digunakan sembarangan bisa meracuni tubuh dan memperparah penyakit.
Obat dengan tanda bulatan merah dengan huruf K hitam itu, hanya bisa dijual di apotek atau apotek rakyat, toko obat yang telah dinaikkan statusnya menjadi apotek karena menjual obat resep dokter. Sejumlah toko obat di pasar Pramuka terdapat obat penurun hipertensi yang tergolong obat keras tanpa resep dokter.
“Mereka menjual obat yang kemasannya ada logo bulatan merah dengan huruf K hitam. Obat itu adalah obat keras. Masyarakat jangan membeli obat semacam itu di toko obat karena toko obat tidak diberi kewenangan untuk menjual obat keras, misalnya antibiotik, obat penurun tekanan darah,” kata Dewi.
Pada 2 September lalu, Polri dan BPOM menemukan 42,48 juta butir obat ilegal berbagai jenis, berikut alat produksinya di sebuah pabrik di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, senilai Rp 30 miliar.
Obat ilegal yang ditemukan terdiri dari Tramadol 24,9 juta butir, Trihexyphenidyl 2 juta butir, Carnophen 10,38 juta butir, Somadryl 4 juta butir, dan Dextrometorphan 1,18 juta butir.
Jika disalahgunakan, Tramadol dan Trihexyphenidyl memicu ketergantungan dan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Adapun Carnophen dan Somadryl, yang mengandung carisoprodol dan dexthromethorpan, ialah obat batuk yang menimbulkan efek halusinasi pada pengonsumsinya.
Polisi Selidiki Keterlibatan Petugas Pasok Obat Kadaluarsa
Sementara itu, penyidik Polda Metro Jaya, menyelidiki dugaan keterlibatan petugas terkait pasokan obat kadaluarsa yang dijual apotek di Pasar Pramuka Jakarta Timur.
"Kami harus dalami mengedarkan obat kadaluarsa sengaja atau tidak," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Fadil Imran di Jakarta Rabu (7/9), seperti dikutip dari Antara.
Kombes Fadil mengatakan, penyidik kepolisian membidik pelaku yang bertanggung jawab terhadap penjualan obat yang telah lewat batas waktu konsumsi tersebut.
Perwira menengah kepolisian itu berjanji akan menindak tegas para oknum petugas maupun penjual yang mengedarkan obat kadaluarsa.
Polisi akan memeriksa jalur peredaran obat kadaluarsa mulai dari produsen, agen, distributor hingga pemilik toko atau apotek dengan sanksi pidana hingga mencabut izin usaha.
Berdasarkan ketentuan, produsen mengawasi peredaran obat ketika ditemukan obat kadaluarsa maka pihak produsen menarik obat tersebut kemudian memusnahkan bersama petugas Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM).
Selain itu juga aksi razia BPOM DKI Jakarta, yang bekerja sama dengan Polri dan Pemerintah DKI Jakarta itu telah menyegel enam toko obat. Keenam toko itu didapati menjual obat keras tanpa resep dokter dan obat kadaluarsa.
Editor : Sotyati
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...