Brunei Tinggalkan Hukum Syariah demi Gabung TPP, Indonesia Bagaimana?
BANDAR SERI BEGAWAN, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Amerika Serikat secara resmi telah membuka isi Pakta Perdagangan Pasifik atau Trans Pacific Partnership (TPP) sejak hari Kamis (5/11). Ini menandai dimulainya proses pembahasannya di Kongres untuk mendapat persetujuan dalam 90 hari.
Sebanyak 12 negara -- Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Cile, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Amerika Serikat dan Vietnam -- telah menyepakati pakta ini pada bulan lalu setelah perundingan selama lima tahun.
Kesepakatan bersejarah tersebut dicapai melalui proses panjang, baik yang terungkap ke publik, mau pun tidak.
Keikutsertaan Brunei dalam menyepakati pakta perdagangan ini termasuk yang banyak mendapat sorotan. Menurut sementara kalangan, negara itu terpaksa memberikan konsesi yang amat besar demi dapat bergabung dengan TPP. Ini harus dicermati Indonesia manakala ingin mengambil langkah serupa.
Menjelang penandatanganan pakta perdagangan itu, para politisi di AS meminta kepada negosiator negaranya agar menekan Brunei terkait dengan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di negara itu, khususnya rencana penerapan Hukum Syariah sejak tahun lalu.
Memang bukan hanya Brunei yang diharuskan membereskan pekerjaan rumah sebelum boleh bergabung dengan TPP. Vietnam dan Malaysia termasuk yang mendapat sorotan dari negara-negara demokrasi liberal anggota TPP, untuk menyelesaikan masalah kebebasan beragama dan pembatasan media. Walaupun hal ini termasuk masalah-masalah nonperdagangan, ia tetap dianggap perlu diperhatikan dalam membangun kesepakatan dalam TPP.
Brunei merupakan negara yang paling banyak mengorbankan kepentingan dalam negerinya demi dapat bergabung dengan TPP. "Mungkin tidak ada konsesi yang lebih mendalam dari yang dibuat oleh Brunei dalam rangka untuk dimasukkan dalam 'klub perdagangan istimewa (TPP)," tulis Roger Mitton dalam kolomnya di Myanmar Times, pertengahan Oktober lalu.
Konsesi yang dimaksud adalah keharusan Brunei menunda penerapan sebagian besar Hukum Syariah di negeri itu, yang sudah dicanangkan sejak dua tahun lalu. Agar disetujui bergabung dengan TPP, Brunei terpaksa meninggalkan Hukum Syariah yang ketat, dan beralih menerapkan Hukum Syariah yang remeh-temeh yang tidak signifikan. Padahal sebelumnya, penerapan Hukum Syariah direncanakan dilakukan secara masif dalam beberapa tahap.
Kontroversi Hukum Syariah di Brunei
Pada bulan Oktober 2013, Sultan Hasannal Bolkiah, penguasa mutlak di Brunei, tiba-tiba menyatakan bahwa Hukum Syariah akan diterapkan di negara berpenduduk mayoritas Muslim itu. Hukum Syariah yang ingin diterapkan itu termasuk hukuman cambuk dan amputasi anggota badan bagi mereka yang kedapatan mencuri atau minum alkohol, hukuman mati bagi yang berhubungan seks dengan sesama jenis, juga hukuman mati dengan dirajam bagi wanita yang berzinah.
Rencana itu telah mendatangkan keprihatinan dari berbagai kalangan, di dalam maupun di luar negeri. Apalagi, hukuman yang kejam itu umumnya lebih sering menyasar kalangan tak berdaya seperti orang miskin dan perempuan.
Rakyat Brunei sendiri banyak yang tidak setuju. Ketidaksetujuan itu terlihat dari berbagai reaksi menolak secara online, yang memaksa Sultan memperingatkan rakyatnya untuk tidak mengkritik Hukum Syariah. Pada saat yang sama, ada kemarahan yang lebih besar diungkapkan oleh negara-negara Barat dan kelompok hak asasi manusia
Banyak yang bertanya, mengapa Sultan yang bergaya hidup mewah dan flamboyan tersebut begitu getol ingin menerapkan Hukum Syariah di negaranya?
Analis sinis menduga bahwa langkah Sultan untuk membuat Brunei menjadi negara Asia Tenggara pertama yang memberlakukan Hukum Syariah adalah untuk membangkitkan kepercayaan kalangan Islam kepadanya dan meredakan kritik terhadap masa lalunya, yang dinilai tidak berperilaku Islami.
Apa daya, ketika Sultan mengumumkan rencana menerapkan Hukum Syariah dua tahun lalu, pada saat yang sama dimulai negosiasi TPP. Awalnya, pembicaraan yang terjadi semua berkisar pada perdagangan dan upaya untuk menarik negara-negara lain bergabung. Setahun berlalu, pembicaraan mengenai TPP berjalan tanpa mengaitkannya dengan rencana Brunei mempersiapkan melaksanakan Hukum Syariah.
Namun sejak setahun lalu, tiba-tiba keberatan keras disuarakan, terutama di Washington, bahwa Brunei tidak dapat diizinkan untuk berpartisipasi dalam TPP jika terus dengan rencananya untuk menerapkan Hukum Syariah yang kejam tersebut.
Brunei pun kelabakan, namun untuk menghapus atau membatalkan keseluruhan penerapan Hukum Syariah mereka tidak mau. Alternatifnya adalah menyetujui untuk menerapkan versi yang lebih lunak dari Hukum Syariah tahap pertama, yang diberlakukan mulai Mei tahun lalu.
Sejak saat itu, seiring dengan semakin pesatnya negosiasi TPP menuju ratifikasi, Brunei pun makin menjauh dari penerapan sepenuhnya Hukum Syariah, sebagaimana pernah mereka janjikan.
Sebagai contoh, pada tahap pertama penerapan Hukum Syariah di negara itu, yang terjaring hanya pelanggaran-pelanggaran kecil, seperti tidak menghadiri salat Jumat atau makan dan minum di bulan puasa.
Perempuan sebagai sasaran paling lemah sering mengalami hukuman yang ekstrem dalam Hukum Syariah. Namun, dalam rangka untuk menenangkan negosiator TPP, polisi agama Brunei hanya menerapkan Hukum Syariah pada belasan warga dan sebagian besar untuk pelanggaran kecil, seperti berdekatan dengan pasangan yang bukan muhrimnya.
Seharusnya, tahap kedua pelaksanaan Hukum Syariah yang lebih ketat sudah berlaku beberapa bulan lalu. Tetapi untuk alasan yang belum dapat dijelaskan, pihak berwenang Brunei mengatakan pemberlakuannya "ditunda sampai pemberitahuan lebih lanjut".
Menurut Mitton, alasan sebenarnya adalah agar Brunei bisa diizinkan untuk menandatangani kesepakatan TPP.
Brunai memang tidak punya pilihan selain menunda penerapan Hukum Syariah bila ingin bergabung dengan TPP. Apalagi 119 anggota Kongres AS telah menekan Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, dan perwakilan perdagangan AS, Michael Froman, dengan menegaskan bahwa pintu TPP tertutup rapat bagi Brunei kecuali mereka membatasi rencana pemberlakuan hukum syariah.
Bagi pemerintahan Obama sendiri, tekanan anggota Kongres tersebut tak boleh dianggap main-main. Sebab agar TPP dapat diratifikasi, Obama memerlukan persetujuan Kongres.
Untuk sementara, Brunei telah menunda penerapan Hukum Syariah, dan Kongres AS berada di atas angin, berhasil menekan negara itu tunduk pada keinginan mereka. Namun, menurut Mitton, titik-titik rawan justru bermula di sini. Apabila pemerintah Obama gagal mendapat persetujuan Kongres atas TPP, lalu pakta ini tak dapat diimplementasikan, dapat dipastikan Brunei akan memberlakukan hukum syariah tahap kedua yang lebih ketat dan keras.
Dan lebih menakutkan lagi adalah apabila penerapan hukum syariah tahap ketiga jadi dilaksanakan. Perempuan yang dinyatakan bersalah bisa mendapat hukum rajam sampai mati dan pria dipenggal di depan umum.
Sebaliknya, bila TPP diterapkan, Brunei, seperti juga negara anggota lainnya, tidak dapat semena-mena lagi menerapkan hukum di negaranya. Di bawah kesepakatan "Koherensi Regulasi" yang merupakan bagian dari TPP, disebutkan bahwa setiap kebijakan dan hukum di masing-masing negara harus koheren dengan negara-negara anggota lainnya untuk mendorong tercapainya praktik regulasi yang diterima secara luas.
Sebagai contoh, sebagaimana ditulis oleh Lori Wallach dalam kolomnya di huffingtonpost.com, Brunei tidak bisa menerapkan Hukum Syariah menghukum perempuan yang berzinah dan gay, tanpa ada persetujuan dari negara anggota lainnya, Vietnam, misalnya. Vietnam juga tidak boleh memberangus organisasi buruh tanpa persetujuan Brunei dan Malaysia.
Bila Indonesia ingin bergabung dengan TPP, prasyarat-prasyarat ini juga berlaku. Penerapan Hukum Syariah di Aceh dan beberapa tendensi serupa di provinsi-provinsi lain, sangat mungkin akan dipersoalkan.
Editor : Eben E. Siadari
KPK: Gubernur Bengkulu Peras Pegawai Biayai Pilkada
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan Gubernur Be...