Buat Alat Diagnosis Malaria, Enam Ilmuwan Uganda Raih Hadiah
UGANDA, AFRIKA, SATUHARAPAN.COM – Satu tim yang beranggotakan enam ilmuwan Uganda, memenangkan anugerah bergengsi teknik rekayasa, karena merancang alat uji cepat non-invasif untuk malaria, yang diharapkan pada suatu hari nanti dapat digunakan secara luas di Afrika.
Anugerah yang diberikan oleh The Royal Academy of Engineering di Inggris itu, disertai dengan hadiah uang hampir 33.000 dolar atau Rp474.900.820.
Alat uji cepat non-invasif untuk malaria yang dapat digunakan kembali itu dikenal sebagai “Matibabu”, bahasa Swahili yang berarti “pusat medis.” Mereka yang merancangnya mengatakan alat itu dapat mendiagnosis malaria dalam waktu kurang dari dua menit, kata Shafik Sekitto anggota tim perancang Matibabu.
“Jadi kami mencoba menjembatani kesenjangan antara masyarakat dan akses mereka untuk memperoleh diagnosis malaria yang tepat,” kata Shafik.
Tim peneliti yaitu Shafik Sekitto dan Brian Gitta, mengatakan bahwa Matibabu menggunakan sensor cahaya, bukan contoh darah.
“Ketika seseorang tertular malaria, parasit dalam darah mengubah sifat kimia dan fisiknya. Parasit itu mengubah bentuk sel dan ada kristal yang dipancarkan di dalam aliran darah itu. Jadi kami menggunakan cahaya dan magnet untuk membedakan darah yang tertular malaria dan yang tidak,” kata Shafik.
“Pegang selama dua menit, pasien akan meninggalkan sidik jari mereka di lengkungan piranti itu, dan setelah itu hasilnya akan dikirim ke laptop atau ke telepon untuk menunjukkan apakah kita tertular malaria atau tidak,” kata Brian.
Kepala Otorita Obat-Obatan Uganda Medard Bitekyerezo mengatakan, ini merupakan perkembangan yang sangat menjanjikan bagi negara itu, sehingga akan semakin banyak pasien terutama anak-anak yang menggunakannya.
“Malaria adalah salah satu pembunuh utama di Uganda. Saya kira jika inovasi ini bekerja, tidak bakal menyakiti anak-anak,’’ kata Medard.
Uji coba baru itu akan menjadi penentu yang membantu mengurangi biaya. Tetapi Joseph Okia, seorang dokter di rumah sakit Nakasero di Kampala, mengingatkan bahwa supaya efektif maka piranti itu harus sangat akurat.
“Ketika kita melihat uji medis, kita memiliki sesuatu yang disebut sebagai sensitivitas dan spesifikasi. Sensitivitas artinya seberapa mungkin tes ini mendeteksi seseorang yang tertular malaria. Biasanya kita membutuhkan hasil yang mencapai di atas 95 persen, sedangkan menurut perancang Matibabu, hasil uji alat baru ini sekitar 80 persen,’’ kata Joseph.
Delapan puluh persen kasus dan kematian akibat malaria di dunia terjadi di Sub-Sahara Afrika. Para petugas kesehatan dan ilmuwan berharap alat uji baru ini dapat mengurangi angka-angka tersebut. (voaindonesia.com)
Editor : Melki Pangaribuan
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...