Buka Bersama di Gereja Katedral Mempererat Perdamaian
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pegiat perdamaian yang tergabung dalam Komunitas Kerja Bakti Demi Negeri, melakukan kegiatan buka bersama di Gereja Katedral Jakarta akhir pekan lalu. Selain memperkuat kebersamaan, acara itu digelar sebagai respons dari rentetan aksi intoleransi, radikalisme, dan terorisme, yang terjadi di Indonesia baru-baru ini.
Lagu kebangsaan, yang dinyanyikan oleh paduan suara Paragita Universitas Indonesia berkumandang di Gereja Katedral, Jakarta pada Jumat (1/6) ketika puluhan umat Muslim berkeliling di aula gereja, seraya mendengarkan penjelasan Kepala Paroki Katedral Jakarta, Romo Hani Rudi Hartoko yang memimpin tur keliling gereja.
Tur itu menjadi salah satu agenda dalam acara buka bersama yang digagas oleh pegiat perdamaian dari komunitas Gusdurian, Alissa Wahid.
Gerakan swadaya masyarakat seperti Gerakan Kebaikan Indonesia, Pustaka Bergerak, Tempo Institute, pula turut menggagas acara buka bersama yang dilakukan bertepatan dengan hari kelahiran Pancasila itu.
Salah satu peserta, Dewi Greejo mengapresiasi inisiasi itu, menganggapnya sebagai suatu hal yang 'sangat berani' di tengah sentimen kebencian antaragama yang kian memanas.
"Ini bagus sih supaya komunitas yang selama ini nggak saling kenal jadi kenal. Jadi ini inisiatif yang sangat baik, dan dilakukan di gereja, menurut saya Gereja Katedral sangat berani," kata Dewi kepada BBC Indonesia.
"Saya cukup terharu. Saya tumbuh di lingkungan masyarakat yang sangat heterogen. Saya terharu saja bahwa saya ternyata masih bisa nemuin temen-temen yang selama ini jumlahnya makin sedikit," katanya.
Antusiasme serupa, dikemukakan Suster Patricia dari Paroki Santo Robertus Bellarminus, Cililitan Jakarta Timur, yang baru mengetahui info acara buka bersama di siang harinya.
Sebelum berbuka umat Muslim diajak keliling melihat megahnya Gereja Katedral.
Dia langsung melaju menuju Gereja Katedral untuk berpartisipasi dengan pegiat perdamaian yang lain.
"Saya senang melihat ternyata banyak yang seperti saya, (yang diberi tahu secara) mendadak, tapi nyatanya datang. Selain mungkin ada juga yang penasaran bagaimana acaranya dan ternyata seperti yang dikatakan tadi, ada kebersamaan, kebersatuan. memang rindu, baik yang terkatakan atau tidak," kata dia.
Menurutnya, acara lintas agama semacam ini bisa menjadi ajang untuk meluruskan persepsi keliru yang terjadi satu sama lain.
"Ada kerinduan untuk kebersamaan itu. Dari keliru-keliru persepsi apa yang bisa saya bantu untuk mengajak teman, tidak ada agama yang mengajarkan tidak baik. Kalau orang yang beragama melakukan kekeliruan, mari kita bersama-sama juga berusaha untuk bagaimana supaya itu lurus kembali," katanya.
Tak Cukup Hanya dengan Solidaritas
Alissa Wahid, putri sulung dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang juga dikenal sebagai bapak pluralisme Indonesia ini mengaku, acara ini baru diinisiasi seminggu sebelumnya, atau beberapa pekan sesudah aksi teror bom mengguncang Surabaya, Jawa Timur.
Aksi teror terhadap tiga gereja itu menjadi alasan digelarnya acara ini.
"Jadi setelah teror bom, banyak orang semakin prihatin, kita tahu acara solidaritas banyak, tapi kita juga tahu butuh kerja lebih dari sekadar menyampaikan solidaritas aja. Yang kita mau colek-colek kerja bareng adalah mereka yang punya komunitas. Makanya judulnya kerja bakti demi negeri," kata Alissa.
Melalui acara buka bersama yang digelar di gereja ini, para pegiat perdamaian ingin menunjukkan banyak orang yang ingin bekerja sama membangun negeri, ketimbang menghancurkannya.
"Kita tidak membutuhkan tokoh, sesuatu yang gede untuk bekerja bersama-sama, ini nyatanya bener-bener rakyat, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, itu ternyata sekian ramai. Jadi sentimen kebencian yang setahun setengah ini sangat kuat, itu ternyata juga sekarang menemukan momentum perlawanannya."
"Lebih banyak orang yang ingin menjaga Indonesia daripada mereka yang mempromosikan kebencian antar kelompok," kata Alissa.
Dia mengatakan pula, suhu politik yang kian memanas dianggap sebagai penyebab sentimen kebencian yang terus meningkat selama dua tahun terakhir. Hal ini pula diperkuat dengan hasil riset dari berbagai lembaga yang mengindikasikan hal tersebut
"Misalnya yang dilakukan Gusdurian pada akhir 2016 saja, itu dalam waktu 3 minggu saja, kami menemukan kata 'sesat' kata 'kafir' itu sampai belasan ribu di Twitter, Facebook. Jadi sebetulnya sentimen kebencian antarkelompok itu kan agenda-agenda politiknya banyak, tapi menggunakan agama sebagai bahan, karena yang paling mudah," kata Alissa.
Kepala Paroki Katedral Jakarta, Romo Hani Rudi Hartoko mengatakan, kehadiran umat Islam yang menggelar buka bersama di gerejanya memberikan kegembiraan, dan dukungan setelah peristiwa pilu di tiga gereja di Surabaya beberapa pekan sebelumnya
"Mereka datang karena juga ingin memberikan sebuah peneguhan, uluran tangan, dan kita sambut. Beberapa waktu lalu setelah kejadian kan ada beberapa Muslim yang datang membawa bunga, membagikan bunga dan permen kepada umat.
"Saya kira tindakan simbolik ini tetap penting, dan acara hari ini juga memberi tanda yang nyata bagi kita semua sebagai anak bangsa ini, memiliki keakraban dan saya kira ini kesan yang mau ditampilkan," kata Romo Hani. (bbc.com)
Editor : Sotyati
Polusi Udara Parah, Pengadilan India Minta Pembatasan Kendar...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pengadilan tinggi India pada hari Jumat (22/11) memerintahkan pihak berwe...