Bukan Individualis, Bukan Juga Small Town Syndrome
JAKARTA,SATUHARAPAN.COM, Kehidupan di Eropa sangat berbeda dengan kehidupan di Indonesia, sebutlah Jakarta. Di Jakarta, komunikasi dapat terjadi bahkan di ruang publik. Orang dapat saling menyapa, saling mengobrol bahkan tidak menutup kemungkinan saling menolong. Sebaliknya, di Eropa, kebanyakan orang mengenakan ear phones. Semua sibuk dengan dunianya dan membangun dunianya sendiri. Namun toh jika kita meneliti lebih lanjut kehidupan di Jakarta, kita mungkin dapat menyorotinnya dari sikap generasi.
Generasi boomer sampai dengan generasi X, masih termasuk generasi yang suka atau terbiasa ngobrol dan membangun relasi. Tidak demikian dengan generasi milenial, generasi Z bahkan mungkin generasi alpha. Setiap orang membangun dunianya sendiri, tidak suka membuka diri dan akhirnya hanyut dalam kesendirian. Entah apa yang membuat semakin hari orang terbiasa untuk hidup sendiri dan kurang lagi melibatkan orang lain di luar dirinya.
Sampai kapan pun manusia adalah makhluk sosial, sehingga seberapa pun majunya teknologi, manusia tetap membutuhkan orang lain untuk bercerita dan berbagi. Merasa sepi, merasa sendiri, tidak mampu berbagi kepada siapa-siapa akan menjadi awal dari sebuah gangguan mental. Dengan demikian kita perlu terus membiasakan menyapa orang-orang terdekat kita. Kita harus mau juga memecah tembok-tembok yang dibangun oleh individu-individu.
Di lain pihak, kita juga harus menyadari bahwa sekali pun setiap orang adalah makhluk sosial tetap seseorang juga membutuhkan ruang untuk dirinya sendiri. Bangsa kita terkenal dengan keramahannya, terbuka dan mau menolong. Tentu saja ini sesuatu yang positif, namun terkadang kebersamaan kita menjadi sedemikian kuat, sehingga kita menjadi pribadi-pribadi yang terlalu peduli dengan pandangan komunal. Kita menjadi orang yang sangat mementingkan image dan itu ditentukan oleh komunitas di mana kita ada.
Kita mempunyai nilai-nilai sendiri yang harus dihidupi dan saat nilai kita berbeda, kita dihakimi. Bukan karena benar atau salah nilai itu, namun karena kita mempunyai atau menampilkan nilai yang berbeda. Bahkan jika tidak hati-hati kita terjebak pada small town syndrome, sebuah sindrom dimana tiap orang mengenal sangat dekat satu dengan yang lain, dan kehidupan satu dengan yang lain menjadi sangat dipengaruhi dan terpengaruh. Ini dapat menjadi sebuah ikatan yang eksklusif, terlalu mementingkan satu dengan yang lain dan akhirnya terjebak pada relasi-relasi yang tidak sehat.
Kita kerap merasa tidak enak hati, tidak berani menolak, karena merasa sudah dekat dan mereka bagian dari diri kita. Seolah kita tidak punya lagi relasi di luar kelompok dan menganggap yang ada di luar kelompok kita tidak lagi baik. Kita juga harus sangat hati-hati karena bisa jadi sebuah komunitas orang yang mengaku diri beriman tanpa sengaja dapat terjebak menjadi small town syndrome. Satu sama lain saling kepo dengan urusan yang lain. Orang menjadi merasa tidak nyaman dan tidak enak hati karena terlalu diperhatikan.
Ya manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, sampai kapan pun manusia membutuhkan orang lain. Namun di sisi lain manusia juga butuh privacy, butuh ruang untuk dirinya, butuh waktu untuk kontemplasi, bahkan butuh waktu personal dalam ruang imannya. Dalam kehidupan bersama biarlah kita memberi ruang bagi sekitar kita untuk punya ruang pribadi, namun juga tidak meninggalkan mereka terkurung dalam kesepian ruang pribadinya. Kita juga menjadi orang yang punya ruang untuk diri kita, tetapi tidak menutup diri untuk menyapa dan menolong orang lain.
Editor : Eti Artayatini
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...