Doomscroling dan Bahaya Yang Mengintai
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM, membaca berita-berita buruk di dunia maya seringkali mengasyikkan. Terkadang dapat memacu adrenalin dan menghanyutkan perasaan. Bahkan, baru membaca judulnya saja, hati sudah deg-degan. Jari dengan cepat mengklik judul beritanya. Dari satu klik, kemudian terbawa untuk terus menerus mengklik berita buruk selanjutnya. Kebiasaan seperti itu disebut dengan istilah doomscroling.
Fenomena doomscroling dikatakan mengalami peningkatan sejak tahun 2018, secara khusus ketika masa pandemi. Niat awalnya sederhana, yaitu ingin mengetahui perkembangan situasi supaya dapat mengantisipasi. Akan tetapi, si pembaca justru hanyut dan terseret derasnya arus algoritma internet, yang menyuguhi berita buruk sebagai “makanan” hariannya di media sosial.
Tanpa disadari, aktifitas doomscroling perlahan-lahan merusak pikiran dan mental orang tersebut. Pikirannya diselimuti hal-hal negatif, batinnya dipenuhi kecemasan dan ketakutan, menjadi paranoid terhadap hal disekitarnya. Keadaan ini, pastinya akan memengaruhi aktifitas dan kesehatannya. Terlebih lagi jika berita buruk menjadi “makanan” dan “cemilan” harian baginya. Bangun tidur sarapannya berita buruk, siang dan malam menikmati suguhan kabar negatif, waktu senggang mengemil cerita jelek. Situasi semakin runyam jika ternyata orang tersebut sudah memiliki persoalan mental tertentu, seperti gangguan kecemasan, mudah panik, dan fobia akan situasi tertentu disekitarnya.
Persoalan doomscroling tidak hanya berdampak pada pribadi orang semata, tetapi juga pada kehidupan berbangsa. Mari kita coba hitung dampaknya. Menurut catatan yang ada, populasi pengguna internet di Indonesia lebih dari dua ratus juta pengguna. Apabila tiga puluh persen saja dari pengguna internet merupakan doomscroler aktif, bearti ada sekitar enam puluh juta rakyat Indonesia yang hidup dalam pikiran dan mental yang tidak sehat. Hidup dalam kecemasan, ketakutan, pikiran negatif, atau paranoid sosial.
Apabila aktifitas tersebut berlanjut, tentu akan memengaruhi kehidupan ekonomi, kesehatan, sosial, dan keamanan. Produktifitas ekonomi menurun, jumlah warga yang mengalami persoalan mental bertambah, masalah kesehatan meningkat, sosial kehidupan masyarakat akan dipenuhi dengan pikiran negatif, pesimis, dan ketidakpercayaan pada sekitarnya. Jika kondisi ini diabaikan, tentu akan menjadi ancaman bagi keamanan bermasyarakat dan bernegara. Karena, orang-orang seperti itu mudah dipengaruhi untuk melakukan hal-hal yang buruk.
Dampaknya bias jadi begitu luas, tidak hanya sebatas persoalan individu. Itu sebabnya, masyarakat Indonesia perlu diajak untuk memiliki hal-hal baik di dalam perbendaharaan hatinya. Setiap orang perlu belajar untuk memiliki semua yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, dan kebajikan yang patut dipuji. Anak bangsa perlu memiliki kebiasaan mengikuti berita baik, bahkan di tengah-tengah berita buruk sekalipun. Hanya dengan demikian pikiran dan mental bangsa akan tetap positif, berpengharapan, benar, dan mulia. Panggilan ini perlu dikerjakan bukan saja oleh pemerintah tetapi terlebih setiap lembaga keagamaan yang ada. Dengan demikian, Indonesia ke depannya akan selalu memiliki masyarakat yang sehat dalam pemikiran, perasaan, dan perilaku untuk terus dapat menyalakan cahaya bagi negeri ini, sekalipun di dalam situasi dunia yang gelap.
Editor : Eti Artayatini
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...