Bukan Pedang
Kekerasan bukan cara yang pantas dipilih.
SATUHARAPAN.COM - Restorasi Meiji di Jepang yang terjadi dalam tiga tahun (1866-1869) berpusat pada pertentangan paham untuk bertahan sebagai negara tertutup yang kuno dan terbelakang atau membuka diri dalam pergaulan dengan bangsa lain.
Revolusi ini begitu berdarah, dan digambarkan bahwa jalan-jalan di ibu kota, Kyoto, bagaikan sungai darah. Dan semua itu mengakhiri kekuasaan Keshogunan Tokugawa yang berkuasa selama dua abad lebih, hingga akhirnya menyerahkan kekuasaan pada kaisar.
Era berdarah ini terutama terjadi ketika Tokugawa Yoshinobu membentuk Shinsengumi, pasukan samurai yang menebarkan teror di kota-kota di Jepang.Shinsengumi (artinya Pasukan yang Baru Terpilih) dipimpin oleh Kondo Isami, seorang guru pedang dari Provinsi Musashi, dan pasukan ini melakukan pembunuhan di mana-mana.
Penulis Shinsengumi, Romulus Hillsboroug, seorang jurnalis dari Amerika Serikat yang belasan tahun bekerja di Jepang, berdasarkan berbagai catatan menggambarkan kekejian yang ditebarkan oleh pasukan samurai ini. Mereka memeras, membunuh, bahkan untuk alasan yang sepele ‘’merasa dihina’’ oleh warga masyarakat biasa. Kepala korban biasanya ditancapkan pada tiang di pinggir jalan untuk menebar ketakutan.
Salah satu komandan yang paling ‘’bernafsu membunuh’’ adalah Serizawa Kamo. Dia bisa membunuh sesama samurai, dan warga biasa. Dia tidak bisa menerima apa yang dirasakan sebagai hinaan pada dia, termasuk terkena tali yang dilepaskan tanpa sengaja oleh seorang awak kapal.
Serizawa Kamo akhirnya mati muda oleh sabetan pedang (katana), seperti halnya sebagian besar anggota Sinshengumi. Bahkan Kondo Isami dan seluruh keturunannya dihabisi oleh pedang pembalasan. Dan sebagian lagi mati karena rasa bersalah, ketakutan oleh balas dendam, dan memilih jalan bunuh diri. Dalam lima tahun Shinsengumi hancur.
Era berdarah ini menghasilkan banyak ungkapan yang terkait dengan kata pedang dan tangan yang mengayunkan pedang. Salah satu yang menarik adalah ungkapan di Jepang: Katana no Sabi yang secara bebas berarti pedang mendapatkan karat dari darah.
Era bangsa Jepang yang ‘’’berkarat’’ justru terjadi ketika bangsa itu terlibat dalam kekerasan dan perang. Revolusi berdarah dan Perang Dunia II adalah dua era di mana Jepang terpuruk. Sebaliknya Jepang yang sekarang menjadi kekuatan penting ekonomi dunia, dan itu dicapai tanpa sabetan pedang, tetapi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kehidupan.
Selain Jepang, Jerman adalah bangsa yang pernah tenggelam oleh perang dan kekerasan, dan pengalaman pahit itu melahirkan ungkapan: dia yang hidup oleh pedang, mati oleh pedang. Atau ungkapan oleh pemimpin politik dan militer Prancis, Napoleon Bonaparte (memerintah 1805 -1814) yang pernah menguasai hampir seluruh daratah Eropa dengan perang dan tekanan. Dia pernah mengatakan bahwa ada dua kekuatan di dunia: pedan dan semangat. Dalam jangka panjang pedang akan dikalahkan oleh semangat.
Ungkapan-ungkapan itu, yang keluar dari mereka yang pernah hidup dalam kekerasan yang ekstrem, mengajarkan bahwa kekerasan (pedang) bukan cara yang pantas dipilih, bahkan cara yang harus dihilangkan dari pikiran, baik dalam kehidupan politik maupun sosial.
Editor: Yoel M Indrasmoro
Ratusan Tentara Korea Utara Tewas dan Terluka dalam Pertempu...
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Ratusan tentara Korea Utara yang bertempur bersama pasukan Rusia mela...