Buku: Adat Batak dan Tata Laksananya
SATUHARAPAN.COM – Pustaka Sinar Harapan (PSH) menerbitkan dua judul buku, karya Jan Pieter Sitanggang, dalam waktu bersamaan, baru-baru ini. Dilihat dari judulnya, maka buku baru tersebut, Batak Na Marserak dengan sub judul Maradat Adat Na Niadathon, serta Pimpinan Pelayan, berbeda dari buku yang ramai diterbitkan belakangan ini, semacam biografi, kisah sukses, dunia politik, dan cerita tentang profesi atau karier.
Buku Batak Na Marserak terutama mengupas pelaksanaan adat dan seni-budaya Batak Toba, di kampung halaman dan perantauan (tano parserahan). Walaupun judulnya dalam bahasa Batak Toba, namun kupasannya menggunakan bahasa Indonesia. Untuk istilah-istilah bahasa daerah (Batak), yang biasa dipakai pada tata laksana adat, termasuk di kota-kota besar, penulis menyertakan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Buku kedua, Pimpinan Pelayan mengupas soal tugas, fungsi, dan sikap keseharian pelayan jemaat gereja, dalam hal ini, penatua dan pendeta. Maka, begitu membaca buku ini, yang mencuat di benak, informasi tersebut penting bagi mereka yang memilih panggilan Tuhan sebagai pelayan jemaat. Buku ini juga dapat menjadi masukan bagi mereka yang berkeinginan melayani jemaat di gereja.
Sekilas cerita mengenai penulisan kedua buku tersebut dapat kita simak di sampul belakang. Singkatnya, isi kedua buku, yang berbeda tema pula, merupakan rekaman pengalaman penulis, ketika memulai karier sebagai karyawan perusahaan perkebunan di Sumatera Utara, hingga sekarang, melewati masa pensiun bersama istri, anak, dan cucu.
Tentang Adat
Tulisan ini “membedah” buku Batak Na Marserak, yang berintikan adat, ulos, gondang, dan gorga. Khusus mengenai adat dan pelaksanaannya, baik di bona pasogit (kampung halaman) maupun di tano parserahan, banyak persamaannya, terutama menyangkut adat inti. Tapi, terdapat pula perbedaan, apalagi ada bagian-bagian adat yang baru muncul kemudian. Pada sisi lain, menurut penulis buku, ada bagian adat yang sebenarnya tidak relevan lagi dilaksanakan, dewasa ini. Persamaan dan perbedaan itu akan lebih nyata dilihat dari sudut, apa yang menjadi “adat inti”, “adat na taradat” dan “adat na niadathon”.
Buku ini terdiri atas lima bagian dalam pola penyusunan berjenjang. Bagian pertama berkaitan dengan “Halak Batak”, mulai dari “habatahon” hingga perihal perkumpulan marga-marga. Bagian ini bersentuhan dengan potret kehidupan zaman dulu, antara lain, menyangkut penyebutan hari, bulan, tahun arah angin, aksara, dan ruma Batak.
Hal lainnya menyangkut permukiman penduduk dan organisasinya, wilayah kekuasaan raja (pendiri kampung) hingga peraturan-peraturan yang diberlakukan di wilayah hunian yang disebut huta. Pedoman hidup itu berkaitan dengan Sang Pencipta, undang-undang (patik), rambu-rambu (uhum), kekerabatan, dan tata laksana adat. Pedoman-pedoman hidup itu mesti dipatuhi. Yang melanggar terkena hukuman.
Seperti apa sesungguhnya adat dan tata laksananya itu? Penulis buku menempatkannya pada bagian kedua. Bagian ini diawali dengan pendapat bahwa adat dan tata laksananya amat penting bagi orang Batak. Adat menempati posisi penting dalam kehidupan, mulai dari upacara kelahiran hingga kematian. Setiap luat atau daerah mempunya adat, yang kaya akan persamaan dan perbedaan.
Adat Batak berkembang sejalan dengan migrasi penduduk dari huta Sianjur Mulamula (bona pinasa) ke bona pasogit dan lebih lauh lagi, ke tano parserahan. Maka, terjadi pula “keanekaragaman” adat. Penulis mengutip pandangan Raja Patik Tampubolon dan Lothar Schreiner, yang menyebutkan, dengan keanekaragaman itu, adat dibagi menjadi tiga bagian yakni, a. Adat Inti, b. Adat Na Taradat, dan C. Adat Na Niadathon.
Adat Inti disebut sebagai adat asli yang dipraktikkan sejak nenek moyang orang Batak sampai sekarang. Adat ini bersifat konservatif, dengan pengertian, tidak berubah sepanjang zaman, ditandai dengan aturan yang jelas dan mempunyai makna. Adat Na Taradat adalah adat yang ditetapkan oleh suatu daerah disesuaikan dengan situasi setempat. Penyesuaian dapat karena berbagai faktor. Dapat karena kurang lengkapnya unsur adat dan adanya orang yang “memaksakan” kemauannya dengan berlindung pada ungkapan, hal itu sudah biasa kami laksanakan.
Kemudian, Adat Na Taradat, yakni adat yang baru muncul pada zaman modern ini dan menjadi kebiasaan baru. Biasanya pelaksanaan bagian adat seperti itu berlangsung di kota-kota besar. Adat demikian disebut menyimpang dari adat inti, karena tidak mempunyai makna. Misalnya, pemberian ulos pada acara lepas sidi di rumah.
Penulis buku mengupas secara panjang lebar mengenai tahap-tahap adat pada proses perkawinan dan upacara kematian, hingga uraian itu menyita 76 halaman. Maka, patut disebut, bagian kedua, “Adat dan Paradaton”, merupakan inti buku Batak Na Marserak.
Sistem Kekerabatan
Mengenai sistem kekerabatan dengan filosofi Dalihan Na Tolu (tungku berkaki tiga), yakni dongan tubu, hula hula, dan boru, terdapat pada bagian ketiga. Ketiga unsur (kelompok) ini harus hadir dalam setiap upacara adat. Dengan kata lain, ketiga unsur itu menjadi penentu dalam tata laksana adat Batak. Lebih menarik lagi, karena pembahasan Dalihan Na Tolu diteropong pula dari sisi manajemen modern, terutama dari sifat hubungan yang saling melengkapi.
Itulah filosofi yang dipilih leluhur Batak dalam tatanan hidup kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan dongan tubu (saudara semarga), hula-hula (kelompok marga istri), dan boru (kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita). Keseimbangan dalam sistem kekerabatan tetap terjaga. Setiap unsur punya peran penting, yang diuraikan dalam buku ini.
Tentu, ada juga pihak-pihak lain yang menopang Dalihan Na Tolu, yang disebut sihal-sihal. Jelas, kelompok ini di luar dongan tubu, hula-hula, dan boru, namun keberadaannya juga penting dalam proses pelaksanaan upacara adat. Mereka, antara lain, dongan sahuta (teman se-kampung), ale-ale (teman sepermainan/seperjuangan), dan rekan sekerja.
Perihal ulos, hasil tenunan tangan, gondang (musik tradisional), gorga (ukir-ukiran), rumah adat, Tunggal Panaluan, dan Tungkot Malehat, diuraikan dalam bagian kelima (Seni Budaya). Penggunaan benda seni budaya itu, khususnya ulos dan gondang, dikaitkan dengan upacara adat. Umpamanya, kedudukan ulos pada upacara adat perkawinan.
Bagian kelima atau terakhir, mengupas mengenai bagian dari adat dan tata laksananya yang perlu dievaluasi supaya sesuai dengan maknanya. Setelah menyebutkan, contoh-contoh yang patut dievaluasi, penulis mengajukan pertanyaan sekaligus ajakan. “Tidak dapatkah kita menerima kenyataan bahwa saat ini kita berada di Tano Batak Parserahan, sehingga seyogianya dapat mempunyai Adat Batak Parserahan, adat yang sama?”
Pengalaman Melayani
Dalam buku Pimpinan Pelayan, JP Sitanggang menulis pengalaman terlibat langsung di gereja-gereja lokal. Termasuk juga di lembaga-lembaga sinode. Di sana juga ada rekaman suka-duka warga jemaat yang mencicipi pelayanan pendeta dan perekaman.
Buku ini kaya akan panduan dan pedoman yang bersumber dari alkitabiah dan teori umum mengenai kepemimpinan yang diperlukan pelayan jemaat dalam melaksanakan tugas panggilan sehari-hari. JP Sitanggang memberikan gambaran mengenai tugas dan makna pelayanan itu.
Dengan membacanya, diharapkan para penatua akan lebih mengerti cara bersikap dan bertindak dalam melaksanakan panggilannya.
DATA BUKU
Judul : Batak Na Marserak (Adat Na Niadathon)
Penulis : J.P. Sitanggang
Penerbit : Pustaka Sinar Harapan
Tebal : xviii +212 halaman
ISBN : 978-979-416-964-3
Judul : Pimpinan Pelayan
Penulis : J.P. Sitanggang
Penerbit : Pustaka Sinar Harapan
Tebal : xxiv +116 halaman
ISBN : 978-979-416-965-0
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...