WGTC: Pemimpin Indonesia Harus Terapkan Nilai-Nilai Wayang
DEPOK, SATUHARAPAN.COM – “Pemimpin di Indonesia harus menerapkan nilai-nilai wayang dalam melaksanakan kepemimpinannya,” ujar Adi Sujatno, staf pengajar Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) dalam sarasehan bertema “Wayang dalam Konteks Keindonesiaan” Kamis (25/9) siang, di Gedung Annex, Kampus UI Depok.
Sarasehan ini merupakan bagian dari rangkaian festival Wayang Goes to Campus (WGTC) 2014 yang diselenggarakan oleh Komunitas Wayang UI.
Sujatno menjelaskan ada sifat-sifat di tokoh wayang yang dapat diimplementasikan oleh pemimpin Indonesia, seperti Semar yang mengajarkan perilaku setia, tulus dan tanpa amarah, dan Bima yang mengajarkan pemimpin agar mempunyai daya intelektual yang tinggi
“Selain itu di wayang terdapat ajaran Catur Naya Sandhi yaitu seorang pemimpin hendaknya melaksanakan empat hal yaitu Sama (menandingi kekuatan musuh), Bheda (melaksanakan tata tertib kerja), Dhana (mengutamakan sandang papan) dan Dandha (menghukum dengan adil mereka yang bersalah),” kata Sujatno.
“Wayang merupakan buah pemikiran dan filsafat asli bangsa Indonesia, sehingga harus diimplementasikan nilai-nilainya oleh pemimpin Indonesia,” tambah Sujatno.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, yang hadir sebagai pembicara, mengakui sudah menerapkan nilai-nilai wayang dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat olehnya, walaupun mendapat hambatan dan tentangan.
“Saya sering mendapat tentangan dari kelompok ulama, dicap kafir, ditolak masuk masjid, rumah saya diteror, karena mengutamakan kebudayaan dan pemikiran lokal dibanding pembinaan agama,” kata Mulyadi.
Mulyadi mengatakan nilai-nilai wayang diterapkan adalah mengutamakan kearifan lokal, dengan cara menggalakan pembangunan gapura di Purwakarta, pelarangan penggunaan nama-nama perumahan berbahasa asing dan yang kontroversial adalah pelarangan penggunaan gas elpiji di desa-desa, karena dapat mengubah kearifan lokal, yaitu pengunaan kayu bakar untuk memasak.
Ia mengkritisi kebijakan pemimpin-pemimpin daerah Jawa Barat yang memusnahkan identitas lokal daerahnya. “Saya heran, mengapa pemimpin daerah di Jabar yang menggalakan program Kota Santri atau Gerbang Marhamah, dibanding budaya lokal, identitas Jawa Barat sudah musnah,” kata Mulyadi disambut tepuk tangan meriah peserta sarasehan.
Sarasehan itu dimoderatori oleh Prof. Sarlito W Sarwono, Guru Besar Fakultas Psikologi UI
Pertunjukan Wayang Tavip
Sore harinya, rangkaian festival WGTC 2014 untuk hari Kamis (25/9) ditutup dengan pementasan wayang Tavip dengan lakon “Si Pitung” di Gedung Annex, Kampus UI Depok, yang mengisahkan perjuangan Si Pitung melawan kompeni Belanda.
Berbeda dengan wayang kulit yang pakemnya berasal dari epos Mahabharata dan Ramayana, cerita wayang Tavip tidak mempunyai pakem dan jalan cerita tergantung dari dalang wayang itu sendiri, selain itu wayang Tavip dibuat menggunakan limbah plastik bukan kulit hewan.
Besok Jumat (25/9) jam 13.30 WIB festival WGTC 2014 menghadirkan pementasan wayang kulit purwa dengan dalang Ki Manteb Soedarsono dan dilanjutkan pementasan wayang Potehi di Ruang Utama Balairung UI, Depok.
Festival WGTC 2014 menghadirkan pementasan wayang, sarasehan, diskusi dan pameran. Semua acara WGTC 2014 terbuka untuk umum dan gratis.
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...