Buku Baru Ungkap Penghianatan NZ Terhadap Aspirasi Rakyat Papua
WELLINGTON, SATUHARAPAN.COM - Pada tahun 1950-an, Selandia Baru termasuk negara yang mendukung penentuan nasib sendiri rakyat Papua, seperti juga Australia dan Belanda. Tetapi pada tahun 1962, negara itu berbalik dan memilih mendukung Indonesia mengambil alih wilayah tersebut.
Bagi sebagian orang Papua dan juga rakyat Selandia Baru yang mengetahui sejarah itu, hal ini dipandang sebagai penghianatan. Apalagi sejarah kemudian menunjukkan rakyat Papua mengalami diskriminasi, terpinggirkan dan bahkan menderita pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) luar biasa selama lebih 50 tahun berintegrasi dengan Indonesia.
Inkonsistensi dan kemunafikan politik luar negeri Selandia Baru terhadap Papua akan diungkap oleh Maire Leadbeater, bekas councillor kota Auckland, Selandia Baru, yang selama 25 tahun terakhir mendedikasikan hidupnya pada kampanye perdamaian dan mendukung penentuan nasib sendiri rakyat Papua, dalam sebuah buku karyanya yang akan diluncurkan pada bulan Juni mendatang.
Buku tersebut diberi judul See No Evil, New Zealand's Betrayal of the People of West Papua, diterbitkan oleh Otago University Press, menyoroti politik luar negeri Selandia Baru terhadap Papua, yang ia nilai merupakan diplomasi munafik tetapi tidak banyak diketahui oleh rakyatnya sendiri.
Dengan tebal 296 halaman, buku yang dibandrol NZ$49.95 ini, terutama ditujukan untuk menantang rakyat Selandia Baru untuk mengetahui sejarah Papua yang baru sedikit terungkap. Sebagaimana dijelaskan dalam situs resmi penerbitnya, www.otago.ac.nz, fokus buku ini terutama mengungkapkan dampak kebijakan luar negeri Selandia Baru terhadap penduduk asli Melanesia di Papua, terutama setelah apa yang dipandang sebagai 'represi' oleh Indonesia sehingga rakyat Papua mengalami --dalam istilah penulis buku ini -- genosida dalam gerak lambat.
Untuk mengungkap kisah-kisah yang belum pernah diungkapkan ini, Leadbeater yang kini berusia 72 tahun, menggali arsip-arsip sejarah pemerintah Selandia Baru. Walau Papua di mata internasional dipersepsikan sebagai wilayah yang tertutup bagi wartawan asing, sejarah dan kisah tragis yang dialami rakyatnya semakin banyak diungkap. Negara-negara di kepulauan Pasifik juga giat menyuarakan perubahan. Hanya saja, Selandia Baru masih memilih kebijakan luar negeri yang berhati-hati bahkan cenderung memilih jalur aman, demi kepentingan bisnis dengan Indonesia.
Perempuan yang juga pernah membantu memperjuangkan aspirasi kemerdekaan Timor Leste sehingga ia dianugerai Order of Timor-Leste oleh pemerintah negara tersebut pada 2017, termasuk yang getol menyuarakan hak penentuan rakyat sendiri rakyat Papua. Pensiunan pekerja sosial ini, cukup rajin bersuara kritis terhadap pemerintah negaranya, yang menurutnya, kurang vokal menyuarakan hal tersebut.
Di masa tuanya kini, ia semakin punya banyak waktu, termasuk untuk menulis buku. Nenek dari 5 cucu ini sebelumnya telah menulis beberapa buku, antara lain Negligent Neighbour: New Zealand’s collusion with the invasion andoccupation of Timor Leste (2006) dan Peace, Power and Politics: How New Zealand became nuclear free, yang diterbitkan oleh Otago University Press (2013).
"Sungguh menyedihkan untuk dicatat bahwa pemerintah Selandia Baru tampaknya tidak menarik pelajaran dari Timor Timur tetapi terus memprioritaskan hubungan bilateral dengan Indonesia di atas hak dan penderitaan rakyat Papua. Saya percaya situasi di Papua Barat hanya dapat digambarkan sebagai pendudukan militer, dan bahwa orang-orang Papua, seperti orang Timor Timur memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri yang sejati," kata dia, dalam sebuah tulisannya, Companion to East Timor, yang dimuat pada situs School of Humanities and Social Sciences, UNSW, Canberra.
Tahun lalu, mewakili kelompok Kristen Quaker atau disebut juga Perkumpulan Agama Sahabat, ia menemui sejumlah anggota parlemen Selandia Baru di Gedung Parlemen negara itu di Wellington. Ia menyerahkan petisi publik yang isinya mendesak pemerintah Selandia Baru mengambil sikap dan tindakan atas situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.
Petisi yang ditandatangani oleh 729 orang itu diserahkan kepada Komite Luar Negeri dan Pertahanan parlemen Selandia Baru. Ketua komite, Todd Muller, turut hadir dan mendengarkan paparan Leadbeater. Namun hingga kini kebijakan luar negeri Selandia Baru belum banyak mengakomodasi hal yang disuarakan oleh Leadbeater.
Editor : Eben E. Siadari
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...