Buku Ende: Nyanyian Pujian Tanah Batak
BANDUNG, SATUHARAPAN.COM – The Story of Buku Ende merupakan pertunjukan drama paduan suara yang menceritakan interprestasi perjalanan tentang kehidupan tua sampai muda yang bersumber pada naskah lagu dari Buku Ende.
Menurut Ketua Umum Pementasan The Story of Buku Ende, DR. Victor Lumbanraja, MSP, MPA, rangkaian cerita ditampilkan ke dalam dua babak, pertama bercerita tetang gambaran kehidupan awal masyarakat Batak Kristen dan kedua menceritakan tetang kehidupan masa kini.
“Ada dua penyajiannya dilakukan secara simultan. Di satu sisi paduan suara menyanyikan naskah Buku Ende untuk memperkuat dengan apa yang sedang dinyanyikan, dibantu dengan visualisasi atau sebaliknya. Fungsi keduanya saling memperkuat diharapkan pesan yang terkandung bisa disampaikan,” katanya di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Bandung, Sabtu (29/3).
Memang, katanya, acara ini berawal dari kerinduaan sebagai orang yang pertama menikmati bagaimana agungnya Buku Ende yang sangat spiritual, Buku Ende juga sangat nikmat bila dinyanyikan dengan baik dan benar.
“Kita merasa ada yang hilang selama beberapa dekade ini, seolah-olah tertinggal dengan perkembangan lagu baru yang sangat cepat dari berbagai denominasi gereja lainnya. Sudah lama tidak terdengar padahal buku Ende syarat dengan makna dan Buku Ende adalah kotbah yang hidup, tetapi pelan-pelan dilupakan,” Victor mengungkapkan.
Padahal, lanjutnya, Buku Ende juga merupakan benang merah budaya Batak. Karena dulunya Buku Ende adalah nyanyian dari orang Kristen Batak. “Ada benang merah antara Kristen Batak dengan budaya Batak pertimbangannya karena Buku Ende dikarang di tanah Batak. Layaknya seorang pengarang ketika dia mengarang sebuah lagu, akan syarat dengan warna lingkungannya artinya jika Buku Ende dikarang di tanah Batak tidak akan lepas dari adat istiadat budaya Batak,” Victor menerangkan.
Ia menambahkan, bahwa Buku Ende mampu menjawab apapun kegalauannya. Dari sini bisa kita lihat Buku Ende tidak akan ketinggalan zaman. Dalam suasana anak muda galau pun bisa menjawabnya karena mempunyai pegangan dari Buku Ende yang harus terus dikenalkan bagi generasi muda.
“Kita akui bahwa ada kelemahan anak muda untuk memahami Buku Ende karena buku ditulis dengan Bahasa Batak dan ini merupakan fenomena yang terjadi. Di gereja Batak sudah tidak menggunakan Bahasa Batak, jadi bagaimana Buku Ende bisa tetap eksis,” keluh Victor.
Untuk itu, dengan acara ini Victor mengharapkan gereja-gereja Batak kembali menggunakan Bahasa Batak dalam kebaktian di gereja. Sebab kuatnya nasionalisme itu ada dari suku-suku yang ada untuk terus dikembangkan menjadi sesuatu identitas yang tak lekang oleh zaman.
Buku Ende merupakan representasi dari proses kehidupan manusia mulai dari bersekolah minggu, dewasa, menikah, sampai dengan kematian, dan terakhir pengharapan untuk kehidupan yang kekal.
Dimulai dari keprihatinan mantan-mantan aktivis gereja terhadap seni budaya Batak sehingga membuat acara ini. Ada 136 orang personil yang hadir dari berbagai macam denominasi gereja di Medan. Pertunjukan ini bukanlah sejarah tentang Buku Ende, tetapi hanya untuk menuntun kehidupan untuk lebih baik lagi dengan terus menujukan identitas Budaya Batak.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...