Dukungan Pemda Dirasa Kurang Bagi Perfilman Indonesia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dukungan pemerintah daerah (pemda) dirasakan kurang oleh para sineas (filmmakers). Terutama untuk sineas pemula yang tentunya bermodal kecil.
Pelaku salah satu industri kreatif ini masih merasakan kesulitan saat harus berurusan dengan pihak pemda, khususnya saat mengurus perizinan. Terlebih, banyak tempat yang sebenarnya merupakan area publik, namun ditetapkan tarif jika dipakai untuk kegiatan syuting atau pengambilan gambar.
Hal tersebut dibenarkan oleh Andra Fembriarto, salah satu sineas muda film pendek, yang sejak 2007 telah berkecimpung di perfilman, menulis dan menyutradarai lebih dari 10 judul film pendek. Ia mengakui kurangnya informasi dari pemerintah setempat yang memberikan pemahaman cara mengurus izin, seperti urutan prosedur, biaya yang ditetapkan, dan lain sebagainya.
“Izin syuting sebenarnya mudah, tapi ketika orang baru pertama kali mengurus izin, pasti akan kebingungan,” kata Andra saat dihubungi, Jumat (28/3).
Belum lagi koordinasi antara dinas dengan pengelola tempat yang terkadang tidak sejalan. Misalnya ketika izin sudah dikeluarkan Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, namun saat ke lokasi ternyata pengelola tempat tidak tahu. Akibatnya kegiatan pun menjadi terhambat lagi, karena si pengelola harus melakukan koordinasi sendiri dengan dinas yang bisa memakan waktu 1-2 jam. Terlebih, para sineas juga acapkali menemukan pengelola yang meminta iuran di tempat, padahal izin sudah di tangan.
Ke depannya, sebagai sineas, Andra berharap mengurus perizinan tidak perlu lagi datang ke dinas terkait, melainkan dapat dilakukan secara online. Misalnya, ia mencontohkan, jika ingin memakai salah satu taman di Jakarta sebagai lokasi syuting, tidak perlu harus mengurus ke Dinas Pertamanan DKI yang berada di daerah Petamburan, Jakarta Barat. Bagi yang tinggal di Slipi, Jakarta Barat mungkin tidak masalah, tetapi bagi yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat, tentu jarak tersebut bisa menghambat kegiatan.
Tarif di Area Publik
Selain itu, ada juga tempat-tempat yang sebenarnya merupakan area publik, namun ditetapkan tarif tertentu jika digunakan untuk kegiatan syuting (pengambilan gambar). Tempat yang merupakan area publik, seperti Taman Menteng, Jakarta Pusat, Gelora Bung Karno (GBK), Taman Makam Belanda, Jakarta Pusat.
Dan yang lebih memprihatinkan lagi, kewajiban membayarkan tarif tersebut hanya dibedakan menjadi dua kategori saja, yaitu kategori pelajar dan kategori komersial. Sedangkan menurut Andra masih ada kategori lain yaitu komunitas, yang merupakan orang-orang yang membuat film karena hobi atau kegemaran saja.
Komunitas biasanya membuat film bukan untuk kepentingan komersial, dan biasanya modalnya juga tidak besar. Namun pengelola tempat yang merupakan bagian dari pemda setempat, tidak mempertimbangkan hal tersebut, dan memasukannya ke dalam kategori komersial.
Dibandingkan dengan di negara Australia, pria lulusan University of Technology Sidney ini mengatakan bahwa mengurus perizinan syuting di Australia, mungkin boleh dibilang tidak berbeda jauh dalam urusan birokrasi, tetapi di sana tidak semua tempat dikenakan tarif. Jika kegiatan dilakukan dalam kapasitas besar seperti kru yang sangat banyak, menghambat lalu lintas, dan mengerahkan aparat pengaman yang banyak, barulah itu dikenakan biaya.
“Di Indonesia, harusnya dibuat kriteria seperti itu, misalnya pemerintah menetapkan iuran jika syuting dilakukan oleh kru yang berjumlah lebih dari 10 orang, menghambat lalu lintas, dan melibatkan Satpol PP atau Polisi, misalnya, barulah dikenakan iuran. Jadi jangan disamaratakan seperti itu,” kata Andra.
Tarif Mahal di Tempat Rekreasi
Film sebagaimana sering kita lihat yang berasal dari negara lain, seringkali menjadi ajang promosi bagi suatu tempat di wilayah mereka, entah karena keindahan alamnya, atau budaya dan masyarakat setempat. Namun jika menggunakan tempat-tempat rekreasi di Jakarta untuk kegiatan syuting, relatif mahal tarifnya.
Misalnya saja, ia menyebutkan seperti di Bumi Perkemahan (buper) Ragunan, Taman Jaya Ancol, dan di hampir semua tempat rekreasi di Jakarta, cukup mahal tarifnya. Tentunya bagi sineas pemula maupun komunitas.
Andra menuturkan dalam melakukan syuting, mengurus izin dari pemda di Bali lebih mudah ketimbang di kotanya sendiri, Jakarta, karena di Bali relatif tidak terlalu banyak persyaratannya.
Berharap Grant dari Pemerintah
Sebuah karya film, tentunya harus memiliki modal yang cukup untuk kegiatan produksinya, baik itu film pendek maupun film untuk komersial. Namun pemerintah agaknya masih kurang memahami bagaimana cara menyalurkan kreatifitas yang dimiliki anak-anak bangsa ini dalam industri perfilman melalui program hibah atau uang bantuan (grant).
“Kita bukan pesimis dengan perfilman di negara sendiri, tetapi kalau Singapura misalnya, pemerintahnya mendukung melalui program bengkel kerja (workshop) dan memberikan modal bagi para pesertanya. Sedangkan di Malaysia, pemerintah menyediakan 50 ribu Ringgit untuk proyek film animasi,” jelas Andra.
Berbeda dengan keadaan di Indonesia, sineas bukan hanya dituntut untuk punya modal sendiri yang cukup, tetapi harus memiliki jaringan dengan pemilik gedung dan pengusaha film yang industrinya sudah besar. Jika tidak, sulit untuk membuat karya film dengan hanya berodalkan kreatifitas saja. Dan menurut Andra, seperti itulah kesenjangan yang benar-benar terlihat dalam industri perfilman dalam negeri.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...