Buku Sejarah Pendudukan Jepang di Jawa, Diterbitkan Ulang
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Belum banyak referensi yang bisa memberikan informasi kepada masyarakat tentang fakta-fakta seputar penjajahan Jepang di pedesaan di tanah Jawa. Oleh karena itu Komunitas Bambu bekerja sama dengan Japan Foundation menerbitkan kembali buku “Politik Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945”.
Saat ini adalah tahun ke-45 Aiko Kurasawa, selaku penulis mendalami tentang Indonesia, sebagaimana disampaikan Sejarawan Didi Kwartanada saat acara diskusi buku yang bertempat di Japan Foundation, Sudirman, Jakarta Selatan, Senin (15/9).
“Sejak tahun 1969 ketika Aiko Sensei (bahasa Jepang artinya guru) pertama kali belajar Bahasa Indonesia. Pada tahun tersebut belum ada guru, maka Aiko Sensei mempelajarinya dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang ada di Jepang,” kata Didi.
Tulisan Aiko dalam buku ini bertujuan untuk menganalisis perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan psikologis yang muncul selama zaman penjajahan Jepang di pedesaan di Jawa. Ia bukan hanya menuliskan kekejaman Jepang selama masa penjajahan itu, yang menimbulkan pro dan kontra di negaranya sendiri di Jepang.
Melainkan juga ia sodorkan fakta-fakta lain seperti gagasan dari pemerintah Jepang yang masih digunakan dalam sistem politik maupun teknologi yang digunakan di pedesaan hingga kini, bukan hanya di Jawa, bahkan sampai ke daerah-daerah lain. Misalnya sistem kepala desa, rukun tetangga, koperasi unit desa, pendidikan dan pelatihan, sampai teknologi pertanian dengan melakukan penanaman padi secara teratur yang terbukti bisa menghasilkan padi lebih banyak dan lebih bagus daripada sistem acak terdahulu.
Aiko mendapat gelar sebagai Guru Besar Sejarah Sosial Ekonomi Universitas Keio, yang merupakan universitas swasta tertua di Jepang. Diuraikan Didi, seorang perempuan yang menjadi guru besar atau profesor di Jepang bukanlah hal yang mudah berdasarkan survei dari Global Gender Index tahun 2013 lalu, di mana jumlah pengajar perempuan di universitas terkemuka di Jepang hanya 12,7 persen, Taiwan 21,3 persen, Inggris 34,6 persen, dan Amerika Serikat 35,9 persen.
“Aiko Sensei bisa menjadi profesor di Jepang tentunya memerlukan perjuangan yang keras, dedikasi tanpa henti dan juga menghasilkan karya-karya. Banyak karya yang ditulis Aiko yang sebenarnya cukup penting, tetapi belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, misalnya tentang pelajar-pelajar Indonesia di Jepang pada saat Perang Pasifik,” urai Didi.
Bahkan pada saat Aiko membuat penelitian buku disertasinya ini, tidak ada perpustakaan yang memiliki sumber-sumber atau koleksi karya zaman pendudukan Jepang. Maka untuk mendapatkan sumber yang ia butuhkan, Aiko memasang iklan di surat kabar.
Buku Penting Bukan Hanya Bagi Masiswa Sejarah
Buku tersebut berasal dari disertasi Aiko berjudul asli Mobilization and Control: A Study of Social Change in Rural Java, 1942-1945 yang dipertahankannya di Cornell University, New York, Amerika Serikat dengan beasiswa fullbright pada tahun 1988.
Naskah disertasi selanjutnya diterjemahkan dalam bahasa Jepang berjudul Nihon Senryoka no Jawa Noson no Hen’yo (Tokyo: Sôshisha, 1992), yang ternyata menimbulkan pro dan kontra di Jepang. Aiko mengaku diganggu habis-habisan bahkan dituduh sebagai orang komunis. Padahal Aiko tidak menyatakan penilaian subjektif tentang kekejaman Jepang, ia hanya ingin menyodorkan fakta. Untunglah melalui dukungan kaum muda, gangguan dan kecaman tersebut akhirnya surut.
Buku ini diterbitkan setahun kemudian dalam bahasa Indonesia dengan judul serupa yaitu Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa, 1942-1945 (Jakarta: Grasindo, 1993).
Kini, di tahun 2014, buku sejarah tentang hubungan Indonesia-Jepang itu kembali diterbitkan oleh Komunitas Bambu atas kerja sama dengan Japan Foundation di Jakarta, dengan judul yang diganti yaitu Politik Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945.
Sejarawan muda, penulis sekaligus pendiri penerbitan Komunitas Bambu, J.J. Rizal mengatakan buku ini diterbitkan kembali karena sangat penting terutama bagi mahasiswa sejarah sebagai bahan acuan. Selain itu, 10 tahun merupakan waktu yang cukup lama bagi sebuah buku sejarah untuk dicetak ulang, karena sekarang buku tersebut sudah sulit dicari.
“Dulu waktu saya masih mahasiswa sejarah menemukan buku ini di perpustakaan dengan kondisi yang tulisannya sudah hilang dan hampir rusak, karena serinya difotokopi oleh mahasiswa,” ujar Rizal yang mengaku mencalonkan diri sebagai Wali Kota Depok itu.
Sebelumnya, lanjut Rizal, peminat buku ini dari luar mahasiswa sejarah memang dirasakan kurang. “Mungkin karena bukunya tebal, hurufnya kecil-kecil, kalau kita lihat buku ini seperti lapangan golf yang hanya ada rumput semua. Selain itu, buku ini tadinya tidak ada ilustrasi, bahkan indeksnya tidak ada, sehingga kalau membacanya terasa capek, ibaratnya tidak ada halte untuk tempat istirahat,” canda dia mengumpamakan dengan logat Betawi-nya yang kental.
Buku ini diterbitkan oleh Grasindo tahun 1993, sewaktu dicetak pertama kali pun tidak lebih dari 2.000 eksemplar. Maka untuk mencetak ulang, Rizal mengaku belajar dari pengalaman sebelumnya.
“Kita minta Aiko Sensei untuk mencarikan ilustrasi sebanyak-banyaknya, ada sekitar 100-an ilustrasi yang diambil dari buku-buku yang ditulis Aiko dan Majalah Jawa Baru. Maka kelebihan buku cetakan ulang ini yaitu dengan adanya ilustrasi sehingga imajinasi pembaca akan lebih kuat dalam memahami isi buku, dan kertas yang digunakan lebih berkualitas,” jelas Rizal.
Bahasa yang digunakan juga diyakinkan Rizal sudah lebih disesuaikan dengan masa kini, sehingga menjadi lebih mudah diserap. Selain estetika buku, dalam cetakan terbaru itu juga dibuatkan indeks buku yang dia katakan tidak ada di cetakan lama sebelumnya, sehingga memudahkan orang dalam pencarian di dalam buku.
Pencetakan buku edisi revisi tersbut didukung sepenuhnya oleh Direktur Jenderal Japan Foundation Indonesia, Tadashi Ogawa, yang mengatakan saat ini meskipun sudah dimulai sejarah baru, tetapi sangat penting bagi generasi muda mengerti sejarah, guna memikirkan masa depan.
“Buku ini berfokus di desa di Jawa, bukan di Jakarta, terlebih bukan tentang elit politik seperti Soekarno. Melainkan tentang bagaimana rakyat petani belajar menetang penjajahan Jepang, serta menyiapkan kemerdekaan,” kata Ogawa yang menganggap Aiko sebagai teman sekaligus gurunya dalam mempelajari hubungan Jepang dengan Indonesia.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...