Bunda Maria dalam Genosida Rwanda
RWANDA, SATUHARAPAN.COM – Semangat keagamaan menerpa Kibeho sepuluh tahun sebelum genosida Rwanda pada 1994. Belasan orang menyatakan menerima penampakan dari Bunda Maria. Kibeho menjadi tenar di seluruh dunia karena di antara pesan penampakan dari Bunda Maria berisi genosida yang menghancurkan negara itu. Seperti diberitakan pada Minggu (20/4).
Kibeho merupakan sebuah desa berbukit dan menjadi tempat suci paling terkenal di negara itu. Pada 1980-an, tempat itu menjadi tenar karena penampakan Bunda Maria.
Di 'Tempat Kudus Kibeho' pasangan biarawati biasa berbusana putih dan biru menjadi pemandangan yang umum. Di tempat itu berdiri gereja yang menjadi saksi genosida di negeri itu. Di sebelah kirinya, sebuah tugu peringatan kecil untuk mengenang 28 ribu korban pembantaian dalam genosida itu.
Aloys Ruhinguka adalah seorang petani yang dibesarkan di daerah itu. Dia ingat saat berusia 16 tahun ketika pertama kali menyaksikan seorang perempuan berusia 18 tahun bernama Nathalie Mukamazimpaka duduk selama berjam-jam. Perempuan itu menatap ke matahari dan menyampaikan pesan yang dikatakannya berasal dari Bunda Maria. “Dia mengatakan hal yang buruk akan terjadi di negeri ini, dan dia menghadap matahari dan memberikan pesan," dia menunjuk ke matahari yang terbit di atas kepalanya . "Dia mengatakan banyak hal, tetapi apa yang saya ingat adalah bahwa hal-hal buruk yang akan terjadi di negeri ini."
Peristiwa keagamaan itu terjadi di Kibeho pada 28 November 1981. Alphonsine Mumureke, seorang mahasiswa 16 tahun di perguruan tinggi pelatihan guru lokal menyatakan Bunda Maria datang padanya di kantin sekolah. Dua bulan kemudian mahasiswa lainnya, Nathalie Mukamazimpaka, melaporkan pengalaman serupa. Dua bulan setelah itu, Marie Claire Mukangango membuat pernyataan serupa.
Segera kota itu dibanjiri orang Rwanda dan orang asing yang bersemangat mengamati peristiwa supranatural. Awak media mendirikan speaker sekitar pusat kampus menjelang waktu penampakan Bunda Maria berikutnya. Speaker ini menyiarkan pesan yang disampaikan para visioner (orang yang menerima penampakan) ke ribuan orang yang berkumpul. Para pengunjung mengharapkan limpahan kekudusan. Mereka menjinjing jerigen air dari sungai kecil di dekatnya dan membawanya ke para visioner itu untuk diberkati. Mereka akan menaburkan air yang sudah diberkati itu ke rumah mereka atau memberikannya kepada orang sakit. "Ketika dia (Nathalie Mukamazimpaka) selesai menerima pesan dia jatuh, dan Bunda Maria mengucapkan selamat tinggal," ingat Aloys Ruhinguka.
Nathalie Mukamazimpaka sekarang berusia 50 tahun. Dia menggambarkan peristiwa itu dengan sikap tenang dan berbicara lembut tetapi cepat. "Saya tidak bisa mengatakan mengapa, tetapi dia (Bunda Maria) sendiri memutuskan untuk datang ke sini dan dia memutuskan untuk memilih tiga dari kami."
Para perempuan itu menyampaikan pesan-pesan Bunda Maria untuk berdoa, saling mengasihi, dan melakukan silih ke masyarakat. Nathalie Mukamazimpaka akan duduk selama lima jam menatap lurus ke matahari. Dia akan pergi 14 hari tanpa makan atau minum. "Sepertinya ini membuatmu menjadi sangat berdaya, menjadi sangat kuat, dan kamu merasa sangat bahagia melihat dia (Bunda Maria) di depanmu," kenangnya. Dua perempuan lainnya akan melakukan tindakan yang sama-sama tidak mungkin.
Sembilan bulan setelah penampakan pertama Bunda Maria, mereka menerima pesan penampakan yang mengganggu. Pada tanggal 15 Agustus 1982, Bunda Maria hadir dengan membawa pesan tentang peristiwa yang akan terjadi di Rwanda. "Ketika dia datang dia (Bunda Maria) menangis dan berkata, "Dunia tidak sangat baik dan pembunuhan akan terjadi di negeri ini," ingat Nathalie Mukamazimpaka. "Dua belas tahun kemudian hal itu terjadi dan kami menyaksikan segala sesuatu." Dia mengulangi, "Ketika dia datang pada hari itu, dia (Bunda Maria) menangis."
Beberapa hari setelah penampakan itu, masing-masing visioner menyaksikan penglihatan tentang sungai darah dan mayat tanpa kepala. Menurut penyintas genosida dan penulis Immaculée Ilibagiza menyebutkan Alphonsine Mumureke saat itu berteriak kepada 20 ribu orang banyaknya,"Saya melihat sungai darah! Apa artinya? Tidak, tolong! Mengapa kamu menunjukkan saya begitu banyak darah? Tunjukkan aliran air yang jelas, bukan sungai darah!" Kemudian, "Mengapa orang-orang membunuh satu sama lain? Mengapa mereka memotong satu sama lain?"
Aloys Ruhinguka mengungkapkan bahwa dia seorang yang selamat dari pembantaian. "Kami tidak percaya pada apa yang dia katakan, tetapi ketika itu terjadi, kami berkata, 'Dia benar.'"
Ketika pembunuhan di Rwanda dimulai, orang-orang dari pelbagai provinsi menuju Kibeho karena di tempat itu berdiri gereja terbesar. "Kami pikir tidak ada yang akan datang ke sini karena itu adalah tempat suci," kata Aloys Ruhinguka.
Pada 13 April 1994, kelompok Hutu Interahamwe, termasuk polisi, tentara, dan warga sipil, tiba di kota untuk menyortir penduduk Tutsi. Gereja, sekolah, dan daerah sekitarnya diserang, dan gereja dibakar.
Aloys Ruhinguka menyatakan umur panjangnya ini merupakan sebuah keajaiban. “Setelah pembantaian itu,” katanya, “para pelaku pembantaian membuat Kibeho sebagai puat mereka melakukan pemusnahan. Wilayah ini merupakan bagian dari Operasi Turquoise Perancis yang dipimpin, misi untuk mengontrol dan melindungi daerah, tetapi tidak ada yang dilakukan untuk menghentikan pembantaian di Kibeho. Tentara perdamaian Perancis datang ke desa itu sehari setelah pembantaian. Aloys Ruhinguka mengatakan Tentara Perancis melindungi pembunuh. "Mereka tidak menyentuh mereka."
Tragedi itu menyisakan pemikiran. Para visioner telah meramalkan lebih dari satu dekade sebelumnya. "Ketika pembunuhan dimulai, aku berkata, 'Ini adalah masa pembunuhan, dan Bunda memberitahu ini belangsung lama'" kata Nathalie Mukamazimpaka.
"Dia mengatakan jika kamu tidak saling mencintai, jika kamu tidak berubah pikiran, inilah yang akan terjadi," kata Pastor Norbert Nsengiyumva, salah satu imam di kota. "Orang-orang tidak percaya itu,tetapi mereka menyadari hal itu benar ketika terjadi."
Pembantaian di gereja bukanlah akhir penderitaan Kibeho. Pada 1995, hampir satu tahun kemudian, kota suci Rwanda itu sekali lagi menjadi tempat pertumpahan darah. Setelah pemberontak dari Front Patriotik Rwanda (RPF) menghentikan genosida, orang Hutu, termasuk pelaku pembantaian dan lain-lain bertanggung jawab atas pembantaian itu kemudian membentuk sebuah kamp pengungsi besar di desa. Mereka menakutkan pembalasan kelompok pembebasan Tutsi. Meskipun pasukan perdamaian Australia dan Afrika hadir tetapi pembantaian yang dilakukan RPF tetap berlangsung. Diperkirakan 2 ribu sampai 4 ribu pengungsi mati. Kebanyakan dari mereka warga sipil dan anak-anak tidak berdosa.
Sebelum penampakan dimulai pada 1981, Kibeho adalah sebuah desa yang normal. Pastor Norbert Nsengiyumva mengatakan setelah berita penampakan menyebar, pengunjung mulai datang dari seluruh penjuru dunia. Penampakan segera menular. Lebih dari 30 anak laki-laki dan perempuan di Kibeho dan desa-desa sekitarnya melaporkan penampakan Bunda Maria. Banjir kesucian, termasuk di antaranya laporan penampakan Yesus. Hal ini membesarkan kecurigaan dari pengamat dan bahkan pihak berwenang agama. "Manusia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi," kata Pastor Norbert Nsengiyumva.
Beberapa bulan setelah penampakan pertama maka dibentuklah dua komisi untuk menyelidiki pernyataan dan pesan dari delapan visioner yang dianggap paling otentik. Sebuah komite terdiri dari dokter dan lainnya para teolog. Tim medis benar-benar menusuk dan mendorong para perempuan itu saat mereka dalam keadaan trance. Tindakan ini untuk menilai rasa sakit fisik dalam menyadarkan mereka. Para teolog memeriksa pesan dengan terang iman gereja.
Penyelidikan resmi berakhir pada 1989, tetapi temuan mereka tidak dikeluarkan sampai 2001. Uskup Misago mengumumkan 'pernyataan atas penilaian definitif' yang menyatakan, "Ya, Perawan Maria hadir di Kibeho pada 28 November 1981 dan di bulan-bulan berikutnya." Keputusannya diterapkan hanya pada tiga perempuan yang melaporkan penampakan pertama dan berdasarkan pada kesehatan mental mereka, isi pesan mereka, dan "visi menakutkan pada 15 Agustus 1982 yang membuktikan kenabian itu atas drama manusia di Rwanda dan seluruh negara kawasan Danau Besar dalam beberapa tahun terakhir."
Pada 2006, Uskup Misago mengatakan dalam peringatan 25 tahun penampakan Bunda Maria, “Hari ini kita dapat mengatakan tragedi Rwanda itu telah diramalkan, tetapi aku ingat pada tanggal 15 Agustus 1982, pada hari raya Perawan Maria Diangkat ke Surga, bukannya melihat peristiwa yang membahagiakan Perawan Maria, visioner menyaksikan hal mengerikan, visi menakutkan jenazah-jenazah yang bergelimpangan ditinggalkan di atas bukit-bukit tanpa penguburan. Tidak seorang pun tahu apa arti penglihatan mengerikan itu."
Marie Claire Mukangango tewas dalam gereja. Alphonsine Mumureke hilang pada 1994 saat genosida terjadi dan tidak pernah kembali. Nathalie Mukamazimpaka mengatakan Bunda Maria memintanya tinggal di Kibeho, kecuali untuk dua tahun saat genosida terjadi ketika dia diperintahkan uskup untuk pergi meninggalkan tempat itu.
Hari ini Nathalie Mukamazimpaka tinggal di sebuah rumah kecil satu lantai di atas tanah gereja. Di seberang asrama tempat kejadian dia menerima penampakan pribadi pertamanya. Asrama itu kemudian diubah menjadi sebuah kapel kecil. Kapel itu diisi dengan bangku kayu yang dipoles dan patung Bunda Maria berdiri di sudutnya. Di tengah-tengah halaman, tempat penampakan kepada masyarakat terjadi, didirikan sebuah bait besar yang dikelilingi bangku-bangku.
Setelah keputusan komisi pada 2001, Kibeho mulai membangun gereja seperti yang Bunda Maria minta, Gereja Bunda Dukacita pada 2003.
Penampakan berhenti pada akhir tahun 1989, ketika Alphonsine Mumureke memberitahukan Bunda Maria tidak lagi muncul secara terbuka . Nathalie Mukamazimpaka juga lalu melaporkan melihat penampakan pada tahun 1989. Pastor Norbert Nsengiyumva tidak yakin apakah peristiwa penampakan itu akan membawa Bunda Maria kembali ke masyarakat, atau Bunda Maria akan datang kembali. "Ada banyak hal yang dia (Bunda Maria) minta untuk itu kita tidak melakukannya lagi, jadi akan lebih baik jika kita melakukannya dan kemudian dia (Bunda Maria) datang."
Tetapi ribuan pengunjung tetap datang ke Kibeho setiap tahun pada 15 Agustus saat peringatan hari raya Perawan Maria Diangkat ke Surga yaitu hari para visioner meramalkan pertumpahan darah dan genosida. Pengunjung juga datang pada 28 November, saat penampakan dimulai dan diperingati gereja secara resmi.
Kibeho telah menjadi beriman. Misa hari Minggu di dua gereja masing-masing menarik sekitar 800 umat dengan lima pastor yang melayani mereka. Ada laporan terbaru tentang penampakan, Pastor Norbert Nsengiyumva tidak mempercayainya. Dia mengatakan. "tidak ada bukti."
Tiga puluh tiga tahun setelah memperoleh penampakan, Nathalie Mukamazimpaka berdiri di tengah gereja baru yang dibangun seperti yang Bunda Maria pesan. Dia berbicara dengan keyakinan bahwa ramalan yang dia terima dapat mencegah pertumpahan darah dan genosida Rwanda. "Jika orang-orang mendengarkan pesan waktu itu, mereka mengikuti apa yang saya katakan maka itu tidak akan terjadi. Tetapi orang-orang menjaga jarak dengan pesan itu, inilah alasan itu terjadi... Mereka tidak mendengarkan dan itu terjadi," kata Nathalie Mukamazimpaka. "Jika kamu memperoleh pesan untuk menjadi baik dan saling mencintai dan kamu mengatakan menolaknya maka hal-hal buruk terjadi." (thedailybeast.com)
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...