Bustanul: Politik Pangan Tidak Jelas
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, mengatakan politik pangan tidak jelas arahnya yang berakibat terpinggirkannya pembangunan pertanian Indonesia secara politik.
"Tidak jelasnya politik pangan ini merupakan bagian dari tiga masalah besar ekonomi pangan Indonesia yang harus segera diatasi secara menyeluruh untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional," kata dia dalam Simposium Pangan Nasional di Jakarta, Senin (2/12).
Dia menilai bahwa target politik swasembada pangan agak menyesatkan apalagi masih kerap ditemui dominasi pangan impor atau fenomena ketagihan impor.
Belum lagi, wibawa dan pengelolaan kebijakan dinilai juga semakin menurun dan diperparah dengan ketidakpahaman pemimpin pemda dalam kebijakan pangan.
Akibatnya, kata dia, masih terdapat sumber air di hulu rusak, 52 persen jaringan irigasi 52 persen bermasalah, subsidi input (pupuk, benih) masih jauh dari sasaran dan konversi lahan sawah seluas 100 ribu hektare/tahun.
Masalah besar kedua yang disorot Bustanul Arifin adalah pasar pangan yang tidak simetris, yang ditandai antara lain bila ada harga naik di tingkat konsumen, maka hal tersebut tidak tertransmisikan dengan baik di produsen.
Sedangkan persoalan besar ketiga adalah masalah keberagaman pangan yang rendah yang disebabkan terutama akibat dampak pemaksaan komoditas beras sehingga ketergantungan terhadap beras pada masa kini menjadi sulit untuk ditanggulangi.
Padahal kata dia permasalahan keberagaman juga berkontribusi antara lain kepada tingginya komposisi kemiskinan pedesaan serta kualitas pangan dan gizi yang buruk dan memburuk.
Untuk itu, Bustanul merekomendasikan agar negara wajib melakukan intervensi khusus sektor pangan-pertanian, reformasi agraria, infrastruktur, peningkatan kapasitas petani, percetakan sawah, serta subsidi tepat sasaran.
Selain itu, lanjutnya, negara juga wajib melakukan optimalisasi riset penelitian dan pengembangan terutama karena tantangan rantai nilai pangan semakin kompleks.
Sebelumnya, LSM Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai kesepakatan Paket Bali yang akan dibahas dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali, 3-6 Desember 2013, berpotensi mengancam kedaulatan pangan di Indonesia.
Menurut Direktur Eksekutif IGJ Riza Damanik, kesepakatan WTO akan semakin membuat negara-negara ASEAN termasuk Indonesia akan mengalami lebih banyak lagi serbuan impor pangan sementara mayoritas negara ASEAN terus mengalami penurunan pertumbuhan produksi pangan utamanya seperti beras.
"Disebutkan sepanjang tahun 2007-2011 perlambatan tersebut mencapai minus 0,3 persen. Hal ini mengancam angka pengangguran di beberapa negara ASEAN, khususnya produsen besar beras, yang ditunjukan dengan penurunan angka penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian," kata dia. (Ant)
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...