Buya Maarif: Hasil Reformasi Hanya 25 Persen, Karena Pemerintah Rapuh, Parpol Kumuh
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Prof. Dr. Syafii Maarif mengatakan bahwa reformasi di Indonesia hanya mencapai sekitar 25 persen dari agenda yang disuarakan pada 15 tahun lalu. Hal ini terjadi karena pemerintah rapuh, partai politiknya kumuh, dan masyarakat sipil kocar-kacir.
Demikian dikatakan mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah dalam wawancara dengan satuharapan.com, Jumat (17/5) di Jakarta, berkaitan dengan reformasi di Indonesia yang telah memasuki tahun ke-15.
Pendiri Maarif Institute yang biasa dipanggil Buya Maarif ini mengingatkan bahwa dalam situasi seperti sekarang “kita harus optimistis, sekaligus kritis.” Sebab, penegakan supremasi hukum yang merupakan agenda utama reformasi justru sangat lemah dan memerlukan percepatan perbaikan.
Berikut ini sebagian hasil wawancara satuharapan.com dengan Buya Maarif.
Satuharapan.com: Reformasi sudah berjalanan 15 tahun. Ada enam agenda, dua di antaranya yang terpenting adalah penegakan supremasi hukum dan pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Namun dua hal tersebut justru sekarang menampakkan wajah terburuk. Bagaimana Buya Maarif melihat perjalanan reformasi?
Buya Maarif: Indek persepsi korupsi Indonesia saya kira berada pada angka 4,3. Angka ini menunjukkan raport kita dalam masalah korupsi masih merah. Sama sekali merah. Kalu boleh kita bicara secara balance, keberhasilan reformasi kita baru 25 persen. Dalam hal amandemen UUD 1945, khususnya pembatasan masa jabatan peresiden sudah bagus. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI sudah dilakukan. Pelaksanaan otonomi daerah sudah dilakukan dengan adanya undang-undang, meskipun pelaksanaannya kocar kacir. Aspek yang lain belum terwujud.
Hal-hal lain, khusunsya dalam pembangunan kesejahteraan, merupakan warisa masa lalu, seperti pengembangan puskesmas, keluarga berencana dan posyandu. Hal itu bukan hasil reformasi. Pelayanan masyarakat seperti posyandu, bahkan tidak berkembang. Keluarga berencana yang dulu berhasil, tetapi sekarang kurang mendapat perhatian.
Yang tidak ada dalam agenda itu, dan merupakan hal penting adalah kita tidak mempunyai kepemimpinan nasional. Kepemimpinan kita rapuh sekali, terutama yang belakangan ini. Sehingga orang bertanya di mana pemimpin kita? Negara sering tidak hadir. Padahal masyarakat memerlukan hadirnya negara.
Hal ini terjadi, misalnya, pada kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Ada kasus pada Ahmadiyah, pada Kristen. Dalam kasus itu negara diam. Maka muncullah polisi swasta, karena polisi yang sebenarnya tidak berfungsi pada waktu tertentu. Seperti kasus di Lombok (Nusa Tenggara Barat-Red.), warga Ahmadiyah mengungsi. Mereka (pemerintah-Red.) tenang-tenang saja.
Saya tidak setuju dengan teologi mereka, tetapi masa mereka dibegitukan? Mereka adalah warga negara yang harus dilindungi haknya. Mereka harus mendapat perlindungan hukum. Secara konstitusional mereka wajib dilindungi. Masalahnya negara tidak hadir.
Satuharapan.com: Bagaimana dengan berita bahwa mereka pun ada yang tidak diberi KTP (Kartu Tanda Penduduk)?
Buya Maarif: Saya sudah pernah katakan, kaum ateis saja mempunyai hak untuk hidup di muka bumi. Itu makluk Tuhan juga. Bahwa mereka tidak mau mengakui Tuhan, itu urusan mereka. Tetapi menurut orang yang beragama, mereka itu makluk Allah, makluk Tuhan. Jadi mereka berhak hidup di muka bumi secara aman dan damai, selama mereka menghormati UUD dan peraturan. Tentang KTP, saya mendengar bahwa orang Ahmadiyah ada yang tdiak diberi KTP. Menurut saya, itu sudah merupakan kebiadaban.
Satuharapan.com: Apa yang membuat agenda reformasi gagal dilaksanakan?
Buya Maarif: Pemerintah sekarang ini adalah pemerintah yang rapuh. Tidak punya nyali untuk menegakkan hukum. Termasuk Presiden selama ini mengingkari sumpah jabatannya. Sumpah itu adalah ketaatan pada Pancasila dan menegakkan konstitusi.
Mari kita bicara yang lebih jauh, termasuk beberapa hal yang belum digarap sejak proklamasi. Pasal 33 dan 34 (UUD 1945, tentang bumi dan kekayaan dikelola negara untuk kemakmuran rakyat, dan fakir miskin dipelihara oleh Negara-Red.). Coba lihat, orang miskin berkeliaran di mana-mana, tetapi negara diam. Ini persoalan serius.
Ekonomi kita sudah tergadai. Bidang telekomunikasi, pertambangan, perbankan sebagian besar sudah milik asing atau melalui agen-agen domestiknya. Ini masalah. Kondisi ini yang terjadi sekarang. Sekarang ini kita tidak berdaya. Lalu kita bertanya, dulu kita merdeka itu untuk apa toh? Kita membebaskan diri dari pihak asing yang menghisap. Tetapi sekarang, leher kita, kita serahkan.
Hal ini terjadi, karena pemerintah sangat lemah. Dan hal itu sudah dimulai dari permulaan Orde Baru. Orde Lama memang kacau balau, inflasi sampai 600 persen lebih. Orba menjadi antitesis dari kondisi parah itu dan ekonomi dicoba dipulihkan. Tetapi kita dengan cepat memberikan leher kita kepada Barat, kepada multi nasional. Sampai hari ini, semakin lama semakin parah.
Satuharapan.com: Apakah pemilu 2014 bisa diharapkan untuk mengembalikan agenda reformasi dan menuju cita-cita proklamasi?
Buya Maarif: Kalau kita ingin mengubah dengan memakai demokrasi, maka 2014 menjadi sangat penting. Kalau 2014 kondisinya masih tetap seperti ini, penderitaan ini akan makin panjang. Kita memperpanjang penderitaan. Ini berarti kita mengkianati Pancasila dan mengkianati UUD 1945.
Hal ini tidak mudah, karena kita bergantung pada keputusan parti politik. Sementara partai mengabaikan moral… Partai politik sudah kumuh… (Buya Maarif mencontohkan kasus korupsi di partai politik dan pemerintahan, bahkan tentang gratifikasi seks yang memalukan. - Red.) Untuk itu, rakyat juga harus sadar. Rakyat jangan mudah untuk terjebak. Kalau ada partai politik atau politisi yang berkampanye dan menawarkan uang, biarkan. Tetapi jangan mengikat janji setia untuk memilih dia. No! Boleh ambil uangnya, pilih sesuai hati nurani.
Namun bagaimanapun juga, ini negara kita,bangsa kita. Dalam menyikapi situasi ini kita tidak boleh kalap. Kita harus menghormati hukum dan tidak boleh anarkis. Dan perubahan harus dipercepat.
Catatan: Nama lengkap Buya Maarif adalah Ahmad Syafii Maarif. Dia lahir di Sijunjung, Sumatera Barat, dan dikenal sebagai seorang ulama, ilmuwan dan pendidik. Dia pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Pusa Muhammadiyah, Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute. Komitmen kebangsaannya tinggi dan menghargai pluralitas. Sikapnya yang kritis dan tetap optimistis untuk kemajuan Indonesia.
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...