Buya Maarif: Politik Tuna-Moral Melahirkan Kebiadaban
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pendiri MAARIF Institute, Ahmad Syafii Maarif mengatakan, “Praktik politik tuna-moral yang gamblang dipertontonkan seperti saat ini hanya akan melahirkan kebiadaban dan kerakusan yang semakin menjadi-menjadi.”
Dalam sebuah diskusi publik bertajuk “Kemanakah Moral dan Konstitusi dalam Laku Politik Indonesia Pasca-Reformasi” yang diadakan MAARIF Institute pada Selasa (4/3), pria yang dikenal dengan sebutan Buya Maarif ini berpendapat bahwasanya kehidupan kebangsaan kita semakin terpuruk dalam praktik-praktik politik kumuh. Hal ini menurutnya ditandai dengan kasus korupsi yang semakin mewabah, yang menunjukkan tidak adanya rasa malu pada diri pelaku sehingga korupsi menjadi laku biasa dalam kehidupan politik.
Menurut Buya Maarif reformasi yang sudah 16 tahun berjalan telah membawa perubahan bagi perkembangan demokratisasi Indonesia di masa transisi. Keuntungan yang diraih dari angin reformasi yang terjadi di antaranya menyangkut kebebasan berpolitik, kebebasan pers, dan kebebasan berpendapat-berekspresi yang dalam rezim otoriter-despotik Orde Baru semuanya nyaris mustahil terjadi.
Dalam siaran pers yang dirilis pada Selasa, MAARIF hendak mengingatkan masyarakat agar tidak terbuai dengan angin reformasi itu.
Masyarakat tidak boleh lengah karena arah politik Indonesia justru semakin buram, dan tidak memiliki bentuk yang jelas, terlihat dari perilaku politik kaum elit dan pejabat publik yang semakin jauh dari tuntunan moral dan konstitusi. Hal ini menciptakan kesenjangan antara cita-cita Proklamasi Kemerdekaan dengan realitas kehidupan kebangsaan dewasa ini.
Direktur Riset MAARIF Institute Ahmad Fuad Fanani menyayangkan perilaku korupsi politisi muda yang semula diharapkan dapat membawa perubahan dalam wacana perpolitikan Indonesia.
Fuad Fanani mengatakan, “alih-alih menghasilkan model kepemimpinan baru yang visioner dan transformatif, cuaca politik kita semakin membusuk dengan tampilnya politisi-politisi muda yang lebih canggih dan berani melakukan tindakan korupsi secara berjamaah.”
Praktek korupsi menjadi laku yang lumrah dan justru melahirkan generasi “yang muda, yang korupsi”.
MAARIF mengatakan dengan model politik yang transaksional seperti itu, maka masyarakat patut prihatin dengan kualitas elit dan para pejabat publik, baik yang duduk di lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Tertangkapnya Ketua MK yang terbukti menerima suap dan memperdagangkan putusan-putusan hukumnya, semakin menunjukkan bahwa Indonesia benar-benar berada di titik nadir.
MAARIF menyadari bahwa fenomena politik kumuh yang telah menyimpang dari panduan moral dan konstitusi telah menyebabkan banyak masyarakat menjadi apatis dan bosan dengan politik. Tak jarang pula masyarakat yang membanding-bandingkan dengan zaman dahulu sebelum reformasi.
Oleh karena itu, MAARIF merasa perlu mengajak masyarakat untuk memikirkan haluan politik karena para elite dan politisi sekarang ini tampak sering dan hampir selalu melangkah tanpa haluan yang jelas.
MAARIF berpendapat bahwa haluan politik pascareformasi ini penting untuk disegerakan karena tahun 2014 adalah tahun yang tepat untuk merancang hal itu. Jika ditunda lagi, maka pemilihan umum (pemilu) yang menghabiskan banyak dana dan menguras banyak tenaga hanya akan menjadi ajang rutinitas lima tahunan yang tidak berbekas sama sekali pada upaya perbaikan bangsa dan negara ini.
Di sinilah yang penting menurut MAARIF, yaitu agar masyarakat menjadikan momentum Tahun Politik 2014 sebagai titik tolak untuk melakukan perbaikan dan kerja bersama demi Indonesia yang lebih maju, berdaulat, dan bermartabat. (PR)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...