Loading...
INDONESIA
Penulis: Prasasta Widiadi 20:20 WIB | Selasa, 04 Maret 2014

Pemilu 2014, Eka Budianta: Tekankan Wakil Rakyat Pahami Masa Lampau

Eka Budianta, budayawan dan penyair. (Foto: Ignatius Dwiana).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Budayawan dan penyair, Eka Budianta mengatakan bahwa menjelang pemilihan umum (pemilu) 2014 ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para calon legislatif dan calon presiden yang nantinya akan menjadi wakil rakyat dan pemimpin negeri ini. Pendapat tersebut dia kemukakan kepada satuharapan.com pada Senin (3/3) dalam surat elektronik.

Eka Budianta mengemukakan saat ini legislator saat ini hendaknya memahami menjaga nilai-nilai luhur yang ada di dalam rentang sejarah suatu bangsa.

“Inti dari konservasionisme adalah: berlanjut, bervariasi, dan mandiri. Inilah yang belum muncul di kalangan wakil rakyat kita,” kata Eka Budianta.

“Kita belum terbiasa, bahkan belum mengenal apa artinya konservasionisme ini. Jadi harus belajar memiliki sifat yang konservatif.  Tanpa sifat ini, masyarakat kita mudah lupa, cenderung destruktif dan terombang-ambing dalam arus jaman,” lanjut anggota Dewan Pakar Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dan Dewan Pertimbangan Sekolah Adiwiyata ini.

Situasi berlawanan terjadi di Prancis, pada Selasa (18/2) yang lalu, tatkala Presiden Prancis François Hollande menerima kritik karena menurut sebagian kalangan politisi tertentu menilai tindakan Hollande terlambat untuk meresmikan akibat berdirinya bangunan untuk memperingati para pejuang Muslim Prancis yang wafat pada periode Perang Dunia II.

Sementara itu di negara yang sama akan tetapi dalam periode yang berbeda tatkala pengadilan Prancis memberikan dua tahun hukuman penjara mantan Presiden Jacques Chirac karena mengalihkan dana publik guna kepentingan yang tidak jelas.

Pada 2011, Chirac tidak menghadiri pengadilan tersebut karena kesehatan yang buruk. Tuduhan kepada Chirac bukan saat dia menjabat Presiden akan tetapi pada 2007 saat menjabat walikota Paris.

“Sejarah kita sudah membuktikan hal itu. Contohnya: setiap pemimpin dipuja pada awalnya, tapi dicemooh dan dihujat pada akhirnya. Itu dialami Bung Karno dan Pak Harto. Kalau para wakil rakyat pandai mengawal-melestarikan nilai-nilai luhur, hal itu tidak usah terjadi,” kata Eka Budianta.         

Ir. Soekarno telah menyatakan Kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan ditunjuk sebagai presiden.

Ir. Soekarno yang menjadi presiden pertama Indonesia tumbang pada masa transisi ke dari Orde lama ke Orde Baru, saat itu pergolakan politik terjadi di Indonesia di pertengahan 1960-an, Soekarno terguling setelah 21 tahun menjabat.

Kejatuhan Soekarno salah satunya karena presiden pertama Indonesia tersebut gagal membendung rivalitas Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 1965, PKI telah menembus semua tingkat pemerintahan, mendapatkan pengaruh besar dan juga mengurangi kekuasaan TNI.

Ir. Soekarno yang telah lemah secara politik mentransfer jabatan sebagai kepala negara pada Jenderal Soeharto, yang telah menjadi kepala angkatan bersenjata Indonesia. Pada Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menyatakan bahwa Jenderal Soeharto adalah presiden Indonesia. Soeharto kemudian resmi ditunjuk sebagai presiden Indonesia satu tahun kemudian. Soekarno hidup dalam tahanan rumah sampai kematiannya pada tahun 1970.

Sementara presiden kedua Indonesia, Soeharto yang awalnya dielu-elukan karena berhasil menyelamatkan Indonesia ke dalam “Orde Baru” pada akhirnya tumbang saat krisis finansial melanda Indonesia pada 1998.  

Krisis finansial di beberapa negara Asia berimbas kepada kondisi ekonomi Indonesia yang kian melemah, apalagi nilai tukar rupiah terjerembab dan terpuruk. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran berbagai kelompok mahasiswa dan penjarahan besar-besaran di berbagai pusat perbelanjaan yang ada di seluruh wilayah Indonesia.

Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, karena diduga kuat melakukan pelanggaran hak asasi manusia, gerakan mahasiswa meluas hampir di seluruh Indonesia. Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Wakil rakyat atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini belum memadai sebagai seorang legislator selama masa pemerintahan beberapa presiden di Indonesia, karena kurang bisa beradaptasi dengan kondisi sosial politik yang senantiasa berbeda-beda. Apalagi jika seorang wakil rakyat hendak mewakili yang bukan daerah tempat tinggalnya.  

“Kebudayaan kita sangat beragam, terlalu kaya untuk diwakili oleh segelintir politisi yang rata-rata terkungkung oleh kultur politik, sosial, agama dan ideologi masing-masing.  Kita perlu mengembangkan toleransi lebih besar, inklusifisme, dan jiwa yang lebih luas untuk mewadahi kepentingan masyarakat Indonesia. Contoh: bagaimana seorang yang seumur hidup tinggal di Jakarta, sekarang harus mewakili konstituen di Maluku, di Nias, atau di daerah leluhur mereka yang sudah tidak lagi dikenalnya?,” lanjut Eka Budianta.

Satuharapan.com sempat memberitakan pemilihan umum legislatif yang diselenggarakan pada 4 April 2014 mendatang diperkirakan akan dihiasi dengan beberapa wajah baru dan sama sekali belum mengenal parlemen, tetapi juga masih ada beberapa anggota legislatif yang saat ini tidak beranjak dari gedung wakil rakyat.

Sebagai contoh adalah suami Gubernur Banten yang telah meninggal dunia Hikmat Tomet, masih tercantum dalam Daftar Calon Tetap (DCT) daerah pemilihan (dapil) Banten II Pemilu 2014. Menurut Komisi Pemilihan Umum, nama Hikmat Tomet tidak dapat digantikan oleh Partai Golkar, karena DCT telah ditetapkan pada 4 November yang lalu.

Fenomena lain adalah calon anggota legislatif, atau mereka yang saat ini masih menjabat anggota DPR yakni mereka rela berpindah dapil agar dapat masuk ke parlemen lagi seperti yang terjadi di dapil Jabar IX ada delapan nama sebagai anggota legislatif terpilih mereka, yakni Eldie Suwandie (Golkar), Endang Sukandar (PPP), Yusyus Kuswandana (Demokrat), Linda Megawati (Demokrat), Maruarar Sirait (PDIP), TB Hasanuddin (PDIP), Nurhasan Zaidi (PKS), dan Primus Yustisio (PAN).

Pada dapil Jabar IX memiliki nama Primus Yustisio sebagai caleg dari kalangan artis, saat itu ia menjadi caleg dari PAN. Namun, pada pemilu 2014 Primus tidak dapat ditemukan dalam DCT Jabar IX, karena ia pindah ke dapil Jabar V.

Namun, hal tersebut bukan berarti menyebabkan Jabar IX kehilangan sosok artis dalam DCT nya, Abang Jakarta 1987, Damara Prasadmana menjadi salah satu artis yang namanya terdaftar dalam DCT Jabar IX.

Pada pemilu legislatif nanti, Anwar Sanusi, Anggota DPR-RI yang telah menjalani Pergantian Antar Waktu (PAW) mencalonkan diri sebagai caleg PPP dapil Jabar II. Sedangkan, caleg peraih satu kursi dapil Jabar IX Pemilu 2009, Primus Yustisio, pindah ke dapil Jabar V.

Fenomena berpindah dapil, atau seorang caleg yang tidak mengenal daerah yang dia wakili, atau sebaliknya, daerah yang dia wakili tidak mengenal sepak terjang caleg tersebut disesalkan Eka Budianta.

“Syarat yang harus dimiliki, adalah keperdulian yang tinggi.  Setiap legislator perlu membuktikan benar-benar mencintai daerah dan masyarakat yang diwakilinya,” lanjut Eka Budianta.

“Indikator mencintai daerah atau negara, sesuatu atau seseorang itu sederhana. Kita mencintai (apa pun atau siapapun) kalau mengenal dengan baik; terampil merawatnya dan pandai mengajak orang lain ikut mencintainya,” lanjut Eka Budianta.

Eka Budianta kemudian memberi contoh betapa kurangnya penerapan konservasionisme dalam suatu pemilihan legislatif.  Padahal penting bagi seorang wakil rakyat mengenali dan mencintai daerah yang dia wakili, sehingga memenuhi syarat sebagai seorang anggota legislatif yang  

“Jadi, kalau ada seorang wakil rakyat menyatakan cinta pada konstituen dan daerahnya di Pulau Samosir, maka kita perlu melihat ketiga indikator itu.  Apakah ia mengenal kondisi ekologi maupun kultur Samosir dengan baik? Artinya, dia tahu sejarahnya, keistimewaannya, kelemahannya, kebutuhannya dan potensinya,” kata Eka Budianta.

“Berikutnya, apakah dia terampil memelihara dan memenuhi kebutuhan Samosir?  Dia dapat mengusahakan fasilitas kesehatan, pendidikan dan mengerakkan ekonomi yang dibutuhkan konstituennya? Dia juga patuh hukum serta menjunjung adat-istiadat Samosir,” lanjut Eka Budianta.

Sejalan dengan contoh yang diberikan Eka Budianta, menurut situs resmi Komisi Pemilihan Umum saat ini Kabupaten Toba Samosir yang ada di daerah pemilihan Sumatera Utara II, tidak ada calon anggota legislatif di daerah pemilihan Sumatera Utara II yang sehari-hari bertempat tinggal di Toba Samosir.

Eka Budianta mengatakan saat ini kebanyakan para wakil rakyat tidak peduli dengan penderitaan sekitarnya, baik mereka yang belum menjadi wakil rakyat atau yang sudah berada di gedung parlemen. Ketidakpedulian ini merupakan contoh nyata yang dapat dijumpai sehari-hari.    

“Apabila ada seorang wakil rakyat mengenakan perhiasan super mahal,  memamerkan mobil mewah, rumah gedong yang sama sekali tidak berkarakter.  Begitukah tandanya seorang wakil rakyat yang menjunjung kebudayaan bangsanya?,” kata Eka Budianta.

Mengenai perilaku anggota legislatif yang sama sekali tidak mencerminkan etika dan budaya sebagai seorang wakil rakyat, Marzuki Alie dalam detik.com pernah berkomentar tentang salah satu anggotanya yang tertidur saat paripurna.

Anggota FPDIP DPR Rendy Lamadjido tertidur saat paripurna DPR Selasa (9/7/2013). Ketua DPR Marzuki Alie menilai, semua tergantung niat anggota dewan bersangkutan mengikuti rapat paripurna. “Rapat itu tentu dimulai dari niatnya. Apa yang terjadi itu semua tergantung niatnya,” kata Marzuki.

“Wakil rakyat yang peduli budaya biasanya menjunjung tinggi kualitas hidupnya.  Ia mengedepankan mutu sarana publik.  Tidak membenarkan jalanan dibangun dengan kualitas rendah dan sarana umum lain yang mudah rusak. Tidak membiarkan dirinya merokok, nonton video porno, bahkan tidur di ruang sidang apalagi membolos,” tutup Eka Budianta.   

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home