Cara Vietnam Menangkan ‘Perang’ Lawan Virus Corona
VIETNAM, SATUHARAPAN.COM – Dengan sistem perawatan kesehatan yang tidak begitu bagus dan anggaran yang rendah, bagaimana Vietnam bisa menekan laju infeksi virus corona serendah mungkin?
Di Jerman saja, angka terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan lebih dari 30.000 orang terinfeksi COVID-19, yang mengakibatkan 149 kasus kematian. Namun di Vietnam, yang berbagi perbatasan sepanjang 1.100 kilometer dengan China, hanya dilaporkan 134 infeksi dan tidak ada korban jiwa sejak wabah mulai melanda pada Januari 2020.
Jika kita pertimbangkan angka ini secara seksama, satu hal terlihat jelas, sejauh ini Vietnam telah melakukan pekerjaan yang baik dalam memerangi penyebaran virus corona.
Pada perayaan Tahun Baru Tet (Tahun Baru Vietnam) akhir Januari lalu, Pemerintah Vietnam telah "mendeklarasikan perang" melawan virus corona, meskipun wabah pada waktu itu masih terbatas di China.
Dalam pertemuan Partai Komunis yang berkuasa di Vietnam, Perdana Menteri Nguyen Xuan Phuc saat itu mengatakan, tidak lama lagi virus corona akan sampai ke Vietnam. "Memerangi epidemi ini, berarti memerangi musuh," kata Phuc, yang dilansir dw.com, pada Jumat (27/3).
Bertindak Lebih Awal
Namun, sukses perang tersebut sebenarnya bergantung pada banyaknya dana pemerintah dan kuatnya sistem kesehatan masyarakat. Dua hal ini tidak dimiliki oleh Vietnam.
Vietnam tidak punya kapasitas untuk melakukan tidakan ala Korea Selatan dalam melawan virus corona. Korea Selatan telah melakukan 350.000 tes, sedangkan sistem kesehatan di Vietnam sangat terbatas.
Nguyen Thanh Phong, Wali Kota Ho Chi Minh City, kota metropolitan yang menjadi tempat tinggal 8 juta orang, mengatakan, rumah sakit di kota ini hanya memiliki total 900 unit perawatan intensif. Jadi, jika epidemi melanda kota kota, para petugas medis akan sangat kewalahan.
Untuk melakukan perlawanan terhadap virus corona, Vietnam kemudian memberlakukan kebijakan karantina yang ketat, dan melakukan penelusuran lengkap terhadap semua orang yang berkontak dengan virus ini. Langkah-langkah ini dilaksanakan jauh lebih awal daripada di Cina.
Negara-negara Barat seperti Jerman hanya mencatat orang-orang yang terinfeksi, dan mereka melakukan kontak langsung dengan orang itu. Namun, Vietnam juga melacak kontak hingga tingkat kedua, ketiga, dan keempat, dengan orang yang terinfeksi.
Semua orang ini kemudian ditempatkan di bawah level pembatasan kontak yang ketat. Sejak awal, siapa pun yang tiba di Vietnam dari daerah berisiko tinggi, akan dikarantina selama 14 hari. Semua sekolah dan universitas juga telah ditutup sejak awal Februari.
Negara Langsung Mengawasi
Alih-alih bergantung kepada obat-obatan dan teknologi untuk mencegah wabah corona, aparat keamanan Vietnam menerapkan sistem pengawasan publik secara luas, dibantu oleh militer yang memiliki peralatan yang baik dan cukup dihormati warga.
Pejabat keamanan atau mata-mata Partai Komunis mengawasi di setiap sudut jalan dan di lingkungan serta desa-desa. Militer juga mengerahkan tentara untuk melawan virus corona. Pengawasan ketat ini berhasil mempekecil jumlah orang yang melanggar peraturan.
Akan tetapi sistem ini juga punya kelemahan. Mereka yang menderita COVID-19 dikucilkan dari komunitas dan di media sosial.
Seorang perempuan mendadak viral di internet, setelah kasusnya dipublikasikan di Vietnam, karena membawa virus itu ke Hanoi setelah berpelesir di Eropa. Dia dihina habis-habisan di media sosial, karena mengabaikan instruksi untuk mendaftar ke pihak berwenang dan tetap berada di karantina.
Kasus perempuan ini adalah kasus istimewa karena sesampai ia di Vietnam, 16 orang yang pertama kali menderita COVID-19 di negara itu sudah pulih. Jadi, dia dianggap sebagai orang yang mendatangkan kembali virus itu. Pengucilan terhadap mereka yang jatuh sakit ini menciptakan tekanan sosial yang luar biasa besar, untuk tunduk pada peraturan pemerintah.
Gunakan Retorika Perang
Vietnam juga menerapkan semacam retorika perang dalam melawan virus corona. Perdana Menteri Vietnam mengatakan bahwa "setiap unit usaha, setiap warga negara, setiap area perumahan harus jadi benteng untuk mencegah epidemi."
Retorika ini rupanya tepat sasaran, karena banyak orang Vietnam bangga dengan kemampuan mereka untuk bahu-membahu menanggung kesulitan selama krisis.
Media yang dikontrol pemerintah juga meluncurkan kampanye besar-besaran. Lagu di YouTube tentang cuci tangan yang benar yang disponsori Kementerian Kesehatan bahkan jadi viral.
Memang tidak ada penelitian untuk bisa membuktikan, tetapi suasana di media sosial dan menurut keterangan warga Vietnam menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat setuju dengan langkah yang diambil pemerintah.
Mereka bangga Vietnam bisa menangani krisis ini dengan baik. ‘Pejuang’ kampanye melawan virus corona yang paling populer di negara itu, yakni Wakil Perdana Menteri Vu Duc Dam, dielu-elukan di Facebook sebagai pahlawan nasional.
Memang ada juga sejumlah orang yang tidak puas dengan kebijakan ini, dan mempertanyakan hak-hak warga sipil, tetapi kebanyakan orang menerimanya.
Proyeksi kerugian ekonomi akibat wabah ini juga telah diterima secara luas oleh penduduk. Menurut angka pemerintah, sekitar 3.000 bisnis telah tutup dalam dua bulan pertama tahun 2020. Perusahaan besar seperti Grup Vin, bahkan menutup puluhan hotel dan resor karena anjloknya pariwisata.
Guna meringankan beban perekonomian warga, Pemerintah Vietnam telah menyediakan dana sebesar 1,1 miliar dolar AS (Rp176 triliun), untuk digelontorkan demi melancarkan likuiditas perekonomian. Pemerintah juga menyerukan sumbangan sukarela. Dan, orang-orang memberikan bantuan semampu mereka, karena mereka percaya kepada pemerintah selama krisis ini dan dalam perang melawan virus corona. (dw.com)
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...