Catatan Akhir Tahun: Melawan Prostitusi di Surabaya
SURABAYA, SATUHARAPAN.COM – Wali kota Surabaya, Tri Rismaharini menilai lokalisasi bisnis prostitusi di Surabaya itu melanggar aturan dan membahayakan anak-anak, karena itu semua lokalisasi di Surabaya harus ditutup. Risma pun mengaku ikhlas menanggung risiko meninggal dunia asalkan lokalisasi di Surabaya dapat ditutup.
Ibu dua anak yang akrab disapa Risma ini mengakui, gagasan penutupan lokalisasi awalnya merupakan masukan dari 20 ulama yang mendatanginya dan menghendaki lokalisasi ditutup. Saat itu dirinya bingung karena jika lokalisasi Surabaya ditutup, para pekerja seks komersial (PSK) bisa tersebar kemana-mana.
Kemudian, dia melakukan peninjauan dengan mengunjungi sekolah-sekolah di kawasan Dolly. Ia berputar-putar dan mengajar di sekolah-sekolah daerah itu. “Setelah dua jam mengajar, saya mendapati pandangan anak-anak itu kosong dan mereka menangis. Setelah saya telusuri, ternyata ada benang merah yaitu lokalisasi,” katanya.
Bagi Risma, tidak ada gunanya Surabaya cantik, bersih, kalau anak-anak hidup di suasana yang tidak mereka inginkan. Dengan adanya lokalisasi tersebut, yang paling dirugikan adalah anak-anak. Anak-anak menjadi dekat dengan praktik seks bebas, pemikiran negatif sampai narkoba. “Apakah para orang tua bersikap egois hanya demi perut, tetapi merugikan anak-anak kita, saya kira tidak,” kata dia mempertanyakan.
Atas dasar pemikiran itulah, anak-anak harus diselamatkan dari bahaya eksistensi lokalisasi karena masa depan bangsa terletak di tangan anak-anak ini. Risma mengatakan penutupan lokalisasi bukan semata-mata karena masalah halal-haram atau surga-neraka.
Dengan ditutupnya empat lokalisasi selama 2012-2013, ini membuktikan komitmen Wali Kota Surabaya menjadikan Surabaya bebas lokalisasi. Keempat lokalisasi tersebut adalah Dupak Bangunsari, Kelurahan Moro Krembangan, Kecamatan Krembangan pada 21 Desember 2012, Lokalisasi Kremil Tambak Asri, Kelurahan Morokrembangan, Kecamatan Krembangan pada 28 Mei, Lokalisasi Klakahrejo, Kecamatan Krembangan pada 20 November, dan terakhir Lokalisasi Sememi, Kecamatan Benowo pada 23 Desember 2013.
Rincian kondisi lokalisasi yang ditutup yakni lokalisasi Dupak Bangunsari sebanyak 61 wisma, 50 mucikari, 163 PSK. Lokalisasi Tambak Asri sebanyak 96 wisma, 96 mucikari, 354 PSK. Lokalisasi Klakahrejo yakni 70 wisma, 65 mucikari, 219 PSK dan lokalisasi Sememi yakni 32 wisma, 22 orang, 208 PSK.
Akhir dari Dolly
Setelah 40 tahun mewarnai wajah Kota Surabaya, lokalisasi yang disebut terbesar se-Asia Tenggara itu secara resmi telah ditutup. Legalitas Dolly sebagai tempat prostitusi mulai terkikis setelah pemerintah mendeklarasikan perubahan alih fungsi wisma pekerja seks komersial (PSK) dan alih profesi PSK.
Deklarasi yang berlangsung di Gedung Islamic Center Surabaya pada Rabu (18/6) itu dihadiri Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, Wakil Gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf, Kapolda Jatim Irjen Pol Unggung Cahyono, Kapolrestabes Surabaya Kombespol Setija Junianta, Komandan Korem Bhaskara Jaya Kolonel Arh Nisan Setiadi, dan Kepala Staf Garnisun Tetap III/Surabaya Brigjen TNI (Mar) R. Gatot Suprapto, Ketua DPRD Surabaya, Jajaran Forum Pimpinan Daerah (Forpimda), Ketua UMI Jatim, dan ribuan warga di kawasan Dolly, mulai dari PSK, mucikari, pengurus RT/RW, tokoh masyarakat setempat hingga warga terdampak.
Deklarasi itu mengakhiri sejarah panjang Dolly yang berdiri pada awal 1970-an pascapenggusuran warga stren Kali Jagir oleh Wali Kota Surabaya saat itu, R. Soekotjo. Para warga korban penggusuran itu dipindahkan ke sebuah lokasi yang dekat dengan makam warga Tionghoa Kembang Kuning di kawasan Putat Jaya dan Girilaya.
Kultur warga stren kali saat itu yang dekat dengan kemiskinan, mengakibatkan pelacuran berkembang di kawasan itu. Muncul seorang keturunan Belanda bernama Dolly van Der Mart yang menjadi PSK hingga cukup terkenal hingga saat ini, karena namanya dijadikan sebutan bagi kawasan tersebut.
Kawasan Dolly terus berkembang mulai dari jumlah PSK, hingga luas wilayah operasi, Dolly disebut-sebut mengalahkan lokalisasi di distrik lampu merah Phat Pong di Bangkok, Thailand. Hampir puluhan ribu orang berkunjung setiap malam ke Dolly.
Uang yang berputar di Dolly diperkirakan mencapai miliaran rupiah dalam sehari dan ada sekitar belasan ribu orang yang menggantungkan hidupnya di sana, mulai sopir taksi, penjual makanan, hingga warga yang menyewakan lahan parkir. Bahkan, sebagian aliran uang panas tersebut diduga jatuh ke aparat, mulai RT, RW, Satpol PP, oknum polisi, hingga oknum TNI.
Namun deklarasi itu seolah-olah hanya formalitas karena pada Jumat malam (20/6) lokalisasi Dolly masih tetap buka seperti biasa. Hanya, penjagaan cukup ketat dilakukan untuk menghindari gerebekan aparat atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
Sementara itu, jalanan di Gang Dolly pada saat malam hari terlihat masih ramai oleh orang berjaga-jaga dan terus memantau tamu asing yang datang ke wilayahnya. Ini dikarenakan mereka merasa terancam dengan masuknya gerakan dari kelompok tertentu yang biasanya datang tiba-tiba.
Meski demikian, kondisi Dolly dua hari setelah deklarasi penutupan mulai terlihat sepi. Meski masih banyak wisma yang nekat buka, tidak banyak pelanggan yang datang.
Koordinator Front Pekerja Lokalisasi (FPL), Saputra alias Pokemon membebaskan warga setempat untuk kembali membuka wismanya. “Kalau ada yang mau buka, akan kami lindungi. Kalau mau tutup, ya silakan tutup,” katanya.
Menurut dia, deklarasi itu tidak ada dasar hukumnya. Tapi kalau Wali Kota Surabaya mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Wali Kota terkait penutupan itu, nanti akan dipelajari untuk mengajukan gugatan hukum.
Koordinator Tim Advokasi FPL, Anisa mengungkapkan bahwa deklarasi pemkot itu tidak berkekuatan hukum. Menurut dia, lokalisasi tetap buka seperti biasa.
Sementara itu, para PSK pun memilih pasrah dengan perkembangan yang ada. “Kami manut saja. Takut kalau ada apa-apa,” kata salah seorang PSK yang namanya enggan disebut.
Saat ditanya bagaimana jika ada operasi atau razia? PSK ini meyakini tidak akan ada operasi karena ada banyak orang yang berjaga-jaga. “Tapi, kalaupun ada, paling saya dipulangkan,” ujarnya menambahkan.
Alih Fungsi
Ada empat poin utama dalam deklarasi itu yakni warga menyepakati kawasan Putat Jaya bebas prostitusi, alih profesi di bidang lain yang sesuai dengan tuntunan agama dan peraturan, mendukung penindakan tegas terhadap para pelaku trafficking atau perdagangan orang, serta siap membangun kawasan Putat Jaya menjadi daerah yang lebih aman, maju, dan makin baik dengan bimbingan pemerintah.
“Yang harus dipertahankan adalah sesuatu hal positif, kalau tidak positif tidak perlu dipertahankan,” kata Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri, saat memberikan sambutan pada acara Deklarasi.
Salim mengapresiasi kepada pihak-pihak terkait yang sudah berusaha menutup prostitusi terbesar se-Asia Tenggara yakni Dolly dan Jarak. “Sekitar 2-3 tahun, kami bersama dengan pemda optimal untuk mengatasi permasalahan ini,” kata dia.
Gubernur Jatim Soekarwo dalam sambutannya mengucapkan terima kasih atas kerja sama dalam suksesnya acara ini. Ia mengatakan masyarakat dalam bekerja harus bermartabat.
“Ini program kemanusiaan. Maka kami acc (terima) apa yang diminta Bu Wali Kota terkait Dolly. Pemerintah tak akan membiarkan warga keleleran. Memang dulu penghasilan banyak, ketika ditutup jadi berkurang,” kata Soekarwo.
Soal PSK akan dikembalikan ke daerah asal, Suekarwo mengaku sudah koordinasi dengan bupati/wali kota di seluruh Jatim, dan telah menyiapkan APBD Jatim untuk mengentaskan mereka. Dalam kesempatan itu juga diberikan bantuan dari Kemensos sebesar Rp 7 miliar dan Gubernur Jatim sebesar Rp 1,5 miliar kepada PSK serta warga terdampak lokalisasi.
Konsep Pembangunan
Tri Rismaharini tidak memungkiri bahwa rehabilitasi kawasan lokalisasi yang sudah dilakukan sejak setahun lalu itu butuh proses, karena tidak ada sesuatu yang instan. Ia mencontohkan eks-lokalisasi Sememi dan Klakahrejo saat ini pembangunan fisik masih berlangsung.
Namun ada perubahan signifikan di bekas lokalisasi, di samping kondisi lingkungan yang lebih nyaman, harga tanah juga melonjak drastis, seperti yang terjadi saat ini di eks-lokalisasi Dupak Bangunsari.
Perubahan serupa diharapkan wali kota juga terjadi di Dolly dan Jarak. Warga terdampak, PSK dan mucikari hendaknya beralih ke profesi lain yang sebetulnya lebih menjanjikan.
Dalam hal ini, Risma berniat menyulap lokalisasi Dolly menjadi kawasan bisnis dengan sejumlah fasilitas umum. Tak hanya membeli wisma New Barbara 22 senilai Rp 9 miliar, orang nomor satu di Surabaya itu hendak membangun lapangan fustal.
Selain itu, Risma juga akan membangun gedung enam lantai yang akan difungsikan sebagai sentra pedagang kaki lima (PKL). Lantai dua untuk usaha makanan kering, lantai tiga dan empat khusus untuk perpustakaan dan komputer. Lantai lima akan digunakan untuk taman bermain anak-anak, sedangkan untuk lantai enam akan difungsikan sebagai balai RW.
Dalam pembelian wisma yang sudah dilengkapi lift ini, Risma setidaknya merogoh kocek anggaran negara sebesar Rp 9 miliar. “Setidaknya di Dolly ini kami sudah memiliki sebanyak 10 titik lokasi. Tapi luasannya kecil-kecil. Nanti juga akan dibangun kantor Polsek Sawahan di Dolly ini,” katanya.
Risma mengklaim saat ini sudah ada beberapa warga yang mengajukan untuk mendapat pelatihan montir. Risma merasa optimis, wisma-wisma yang sudah dibeli Pemkot Surabaya, tidak tertutup kemungkinan akan diubah menjadi bengkel mobil atau motor. (Ant)
Editor : Bayu Probo
Pemerhati Lingkungan Tolak Kekah Keluar Natuna
NATUNA, SATUHARAPAN.COM - Pemerhati Lingkungan di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau (Kepri) menolak h...