Catatan Akhir Tahun, Pemilu 2014 Transisi Pemerintahan Terbaik
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peralihan atau transisi pemerintahan pada tahun politik 2014 ini dilalui oleh bangsa Indonesia dengan mulus tanpa mengguncang ketahanan dan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebelum proses transisi itu, ada pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan agenda nasional terbesar, berjalan baik walaupun sempat dibayangi kekhawatiran perpecahan antarsesama warga bangsa karena polarisasi dukungan rakyat terhadap dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Demokrasi memang diuji dalam perjalanan bangsa Indonesia pada tahun ini dan patut disyukuri bahwa kedaulatan rakyat dalam memilih dan menentukan para wakil rakyat serta pemerintahan baru dapat berjalan baik.
Pemerintahan baru dapat terbentuk dan peralihan kekuasaan dalam pemerintahan pun dapat berjalan sangat baik. Bahkan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang digantikan oleh Presiden RI ke-7 Joko Widodo per 20 Oktober 2014, menyebut, untuk pertama kalinya dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, transisi pemerintahan pada tahun ini merupakan yang terbaik, tidak seperti pada proses pergantian kepemimpinan sebelumnya.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mendapat momentum yang sangat baik. Seluruh kekuatan bangsa mendukung kepemimpinan mereka untuk periode selama lima tahun mendatang. Bahkan, para pemimpin negara sahabat dan utusan khusus mereka mendukung pemerintahan baru Republik Indonesia.
Sidang paripurna MPR di Jakarta pada 20 Oktober 2014 dengan agenda tunggal pembacaan sumpah dan janji jabatan serta penandatanganan berita acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dihadiri sebagian besar anggota MPR dan tamu-tamu penting.
Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa yang menjadi lawan politik pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 juga hadir. Bahkan Joko Widodo pada pidato perdananya pada Sidang Paripurna MPR itu secara khusus menyapa Prabowo dan Hatta. Prabowo langsung berdiri memberikan tanda hormat, begitu juga Hatta Rajasa berdiri dan menganggukkan kepala.
Catatan Sejarah
Sejarah mencatat bahwa pergantian kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto dipicu oleh pemberontakan Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) yang berujung pada penolakan pertanggungjawaban Soekarno pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun 1967. Rezim Orde Baru pimpinan Soeharto memberangus Orde Lama, mengasingkan Soekarno dari kegiatan sosial kemasyarakatan, dan membatasi pengaruh Soekarno.
Suksesi kepemimpinan dari Soeharto ke Bacharuddin Jusuf Habibie juga dipicu oleh Gerakan Reformasi yang menuntut pengunduran diri Soeharto hingga membuahkan hasil dengan pernyataan dari Soeharto untuk berhenti dari jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998.
Pergantian kepemimpinan dari Habibie ke Abdurrahman Wahid juga dipicu oleh hasil referendum atas Timor Timur yang menolak bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga pertanggungjawaban Habibie ditolak dalam Sidang Umum MPR 1999.
Begitu pula, alih kekuasaan eksekutif dari Abdurrahman Wahid kepada Megawati juga dipicu oleh kasus Buloggate yang berujung pada pemakzulan terhadap Abdurrahman Wahid oleh MPR.
Pergantian kepemimpinan dari Megawati kepada Yudhoyono meskipun dilakukan melalui Pemilu Presiden secara langsung yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 2004, serta berlangsung demokratis, berada pada kondisi dari ketegangan komunikasi politik menahun antara Yudhoyono dan Megawati sehingga membuat Megawati tidak pernah hadir pada saat pelantikan Yudhoyono pada tanggal 20 Oktober 2004 dan pada tanggal 20 Oktober 2009.
Syukuran
Selepas seremonial kenegaraan pada Sidang Paripurna MPR itu, giliran rakyat mengelu-elukan dan mengarak Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk masuk ke Istana Merdeka. Belum pernah terjadi sebelumnya peristiwa yang melibatkan rakyat begitu besar dalam syukuran pergantian kepemimpinan negara.
Dari Bundaran HI, Joko Widodo-Jusuf Kalla naik kereta kuda dikawal ribuan rakyat dan relawan. Spontan Jalan Sudirman, Jalan Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat hingga Istana Merdeka di Jalan Medan Merdeka Utara menyemut dengan kerumunan warga. Pentas syukuran rakyat yang dipusatkan di Monumen Nasional juga dipadati ribuan warga.
Di Istana Merdeka, Yudhoyono menyambut Joko Widodo kemudian berlangsung memori serah terima jabatan hingga Joko Widodo mengantarkan Yudhoyono meninggalkan Istana Merdeka untuk kembali ke kediamannya di Cikeas.
Sedangkan Wapres Jusuf Kalla juga ke Istana Wapres di Jalan Medan Merdeka Selatan untuk serah terima jabatan dengan Boediono.
Boediono mengatakan dirinya mengembalikan jabatan wapres kepada Jusuf Kalla yang pada lima tahun lalu diterimanya untuk mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada periode 2009-2014.
“Acara ini mengingatkan saya kalau lima tahun yang lalu Pak JK menyerahkan jabatan wapres kepada saya. Nah, sekarang giliran saya yang mengembalikan jabatan wapres ke Pak JK. Jadi, saya ini seolah seperti meminjam saja,” kata Boediono di Istana Wapres pada waktu itu.
Selepas maghrib, Joko Widodo menyampaikan pidato kerakyatan di hadapan ribuan warga yang berkumpul di Monas. Ia mengajak seluruh komponen bangsa Indonesia untuk bekerja keras bersama-sama mewujudkan negara yang kuat, makmur, sejahtera dan memiliki martabat dengan cara mengelola bangsa dengan benar.
“Kita harus sadar bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, Negara Indonesia adalah negara besar tapi harus dikelola dengan benar. Oleh karena itu, seluruh rakyat Indonesia dari beragam profesi harus bekerja sama, karena tidak mungkin bangsa yang besar seperti Indonesia akan menjadi negara yang kuat, sejahtera, makmur, berwibawa dan bermartabat, jika rakyatnya hanya bermalas-malasan,” kata Presiden dalam Pidato Kerakyatannya.
Seusai menyampaikan pidatonya, Presiden kemudian melakukan pemotongan tumpeng nusantara dari 34 provinsi di Indonesia, yang diserahkan kepada lima orang perempuan. Potongan pertama diserahkan kepada seorang sopir taksi perempuan, potongan kedua diserahkan kepada tiga pedagang perempuan dari Jayapura, sedangkan potongan ketiga diberikan kepada siswi perempuan pemenang Olimpiade Fisika.
Joko Widodo bukan sekadar menjadi Presiden ke-7 dalam sejarah RI, tetapi menjadi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan pertama yang menapak karir politik dari kepala daerah di tingkat kota sebagai Wali Kota Surakarta. Belum tuntas periode kedua kepemimpinannya sebagai ‘Surakarta 1’, pria kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961 ini sudah terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk periode 2012-2017. Baru dua tahun menjabat sebagai ‘DKI 1’ dia dipercaya oleh rakyat Indonesia untuk menjadi RI 1.
Joko Widodo tidak sekadar memenangkan Pemilu Presiden 2014 dari perolehan suara yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peraih suara terbanyak bersama pasangannya, Jusuf Kalla, dengan 70.997.833 suara (53,15 persen) dari total suara sah sebanyak 133.574.277 suara, serta unggul 8.421.389 suara dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang meraih 62.576.444 suara (46,85 persen).
Joko Widodo juga menjadi Presiden pertama yang disambut dengan sangat meriah oleh rakyat dan mengharukan setelah mengucapkan sumpah dan janji pada 20 Oktober 2014 di MPR RI. Joko Widodo mengawali pidato pertamanya selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan untuk periode 2014-2019 pada Sidang Istimewa MPR. “Mari bergerak bersama untuk bekerja, bekerja, dan bekerja,” kata dia.
Sejumlah Kepala Negara/Pemerintah negara sahabat berdatangan ke Indonesia untuk memberikan ucapan selamat kepada Presiden Joko Widodo.
Enam pemimpin negara dan 13 utusan khusus negara-negara sahabat menghadiri pelantikan Joko Widodo, beberapa di antaranya Sultan Brunei Darussalam, Hassanal Bolkiah, Presiden Timor Leste, Taur Mata Huak, PM Malaysia, Najib Razak, PM Papua Nugini, Peter ONeill, PM Australia, Tony Abbott, dan PM Singapura, Lee Hsien Loong.
Sementara utusan khusus negara sahabat yang hadir adalah mantan PM Jepang, Yasuo Fukuda, Menlu AS, John Kerry, Menlu Filipina, Albert del Rosario, Menlu Selandia Baru, Murray McCully, dan beberapa lainnya yakni Deputi PM Thailand, Menteri Industri dan Perminyakan Sri Lanka, Menteri Industri dan Perdagangan Rusia, Menteri Perdagangan Turki, serta utusan khusus Korea Selatan, Kanada, dan wakil Kongres Rakyat Tiongkok.
Seruan itu mencerminkan bahwa orang nomor satu di Republik ini pun menyatukan hati dan kata untuk bekerja bersama, bahu membahu dan bergotong-royong bersama seluruh rakyat dari seluruh kalangan untuk membangun Indonesia yang lebih bermartabat.
Suami dari Ibu Negara Hj Iriana dan ayah tiga orang anak, Gibran Rakabuming Raka, Kahiyang Ayu, dan Kaesang Pangarep itu, menegaskan bahwa kerja besar ini bukan hanya dilakukan oleh dia, Wakil Presiden Jusuf Kalla atau jajaran pemerintahan, tetapi harus membangun kekuatan bersama dan bergotong-royong dalam meningkatkan kesejahteraan sosial.
Kerja keras merupakan fokus utama pemerintahan Jokowi, alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada tahun 1985 itu menawarkan ‘Nawacita’ atau sembilan agenda prioritas yang di dalamnya terkandung agenda Trisakti dari Presiden RI ke-1 Soekarno.
Tak berlebihan bila disebut bahwa ‘Jokowi adalah kerja’. Ia telah menunjukkan upayanya bahwa pemimpin hadir untuk bekerja dengan berbagai cara, termasuk melakukan blusukan atau terjun langsung menemui rakyat dan tempat yang menjadi persoalan untuk mendapatkan solusi terbaik secara langsung.
Anak sulung dari pasangan Noto Mihardjo dan Sujiatmi dan kakak dari tiga adik perempuan, Iit Sriyantini, Ida Yati, dan Titik Relawati, ini memang dikenal luas sebagai pemimpin yang menunjukkan karyanya dari kerja keras. Bangsa Indonesia memang harus bekerja keras untuk makin berjaya. (Ant)
Editor : Eben Ezer Siadari
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...