Cegah dan Tangani Masalah Prostitusi Anak
“Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.”
SATUHARAPAN.COM - Beberapa hari lalu Koran Kompas membahas salah satu masalah pelik di Metropolitan adalah Prostitusi Anak (Kompas 18-19 Jan 2024). Fenomena ini banyak tidak disadari dan dideteksi, padahal jumlahnya meningkat tajam.
Komnas PA melansir data bahwa jumlah laporan yang masuk tahun 2023 adalah 3.547 kasus kekerasan anak. Dari jumlah tersebut 54% adalah kasus kekerasan seksual. Dalam hal ini prostitusi anak masuk kategori kekerasan seksual anak.
Anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual, prostitusi anak tidak mampu melaporkan apa yang mereka alami kepada pihak yang bertanggung jawab dan melindungi mereka dari tindak kekerasan dan pelecehan. Kondisi ini membuat mereka berpotensi mengalami lebih banyak lagi tindak kekerasan secara akumulatif.
Efek negatif praktik-praktik kekerasan seksual dan pelecehan terhadap anak sering kali tidak terlihat, tidak terdeteksi dan karenanya menjadi sulit untuk diungkap, sehingga pengaruhnya mungkin baru akan terlihat dalam jangka panjang. Berbagai faktor penyebab menjadi akar masalah dari terjadinya prostitusi anak, antara lain perubahan sosial anak karena pengaruh media sosial dan kerentanan anak dan perempuan mengalami eksploitasi seksual. Bagaimana mengurai, mencegah dan menanganinya?
Menelusuri Akar Masalah
Menelusuri akar masalah dari kasus seorang anak (inisial AJ) yang terjerembab dalam jerat prostitusi anak kiranya dapat menarasikan faktor penyebab yang saling berkaitan. Kerentanan anak di keluarga miskin merupakan faktor utama, karena keluarga miskin mengalami ketidakberdayaan secara ekonomi untuk menopang kebutuhan hidup keluarga.
Upaya keluarga miskin untuk bertahan hidup membuat tenaga dan waktu orang tua berusaha untuk bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya pengawasan, waktu pengasuhan kepada anak menjadi berkurang. Demikian pula faktor minimnya pengetahuan dan keterampilan pola asuh orang tua dalam mewaspadai prostitusi anak. Terutama melalui jejaring sosial media dan iming-iming materi yang ditawarkannya.
Keluarga yang mengalami broken home mengalami kerentanan yang lebih berat karena menyebabkan retaknya dan timpangnya pola pengasuhan ayah dan ibu untuk berbagi peran melindungi anak di keluarga atau mulai dari rumah.
Faktor penyebab lainya, disebutkan di beberapa penelitian sosial dan budaya bahkan ditemukan bahwa anak-anak dan perempuan dianggap sebagai aset keluarga sehingga saat kondisi ekonomi yang sulit membelit, merekalah yang dijadikan alat tukar. Dengan sisten “ijon” dimana anak dan perempuan seperti “dijual” untuk membayar hutang keluarga. Di beberapa daerah pantura Jawa Barat, sebagai sender area prostitusi anak juga ada budaya “luru duit” yaitu tindakan “melacurkan” anak terutama anak perempuan demi memperoleh kekayaan atau meningkatkan status sosial, (Kompas 20/01/24) Karena menjadi budaya, maka hal ini tidak dianggap sebagai aib keluarga. Inilah yang disebut juga sebagai praktek-praktek budaya yang membahayakan perlindungan anak. Ironisnya budaya ini kerap kali luput dari intervensi program perlindungan anak dan gender dari stake holder yang seharusnya berperan.
Komitmen dan Upaya Strategis
Menilik berbagai faktor penyebab yang saling terkait terjadinya prostitusi anak, maka perlu upaya pencegahan dan penanganan dimulai dari tindakan menumbuhkan komitmen bersama untuk langkah yang diambil untuk mencegah dan merespons pelecehan, penelantaran, eksploitasi dan segala bentuk kekerasan lainnya terhadap anak. Peningkatan kapasitas orang tua dalam pengasuhan dan perlindungan anak harus dilakukan. Tak pandang strata sosial, karena anak adalah anugerah dan amanah dari Tuhan YME yang harus dihargai, dilindungi, dicintai harkat dan martabatnya.
Revitalisasi budaya yang menganggap anak sebagai “asset”harus dikoreksi dengan budaya yang lebih menghargai anak sebagai pribadi manusia yang berharga dan mulia.
Pengasuhan positif akan menumbuhkan pola pengasuhan yang demokratis, dan penuh cinta sehingga anak tumbuh dan memiliki hubungan yang positif dengan sesama. Pemberdayaan ekonomi keluarga miskin juga perlu diupayakan berbasis potensi, talenta dan aset yang mereka miliki secara individu maupun komunal perlu dilakukan selaras dengan upaya perlindungan anak dari lingkaran keluarga, sekolah, Lembaga agama, desa, kecamatan, kabupaten dan kota untuk membentuk system perlindungan anak yang komprehensif.
Kerjasama lintas sektor dan juga lintas pemangku kepentingan perlu memastikan pencegahan melalui edukasi dan komunikasi yang menginfokan peran dan fungsi pelindung anak dengan kompetensi yang dimiliki. Penegakan hukum bagi pelaku prostitusi anak juga untuk memberikan efek jera sehingga tidak terjadi penggulangan. Upaya keadilan transformastif juga adalah pemulihan dan rehabilitasi korban prostitusi anak supaya bisa bangkit dari kondisinya dan pulih menatap masa depan yang lebih baik.
Dukungan untuk melanjutkan sekolah atau mengembangkan life skill serta penguatan spiritualitas berdasarkan keyakinan iman anak dapat membangun reseliensi dan bangkit kembali. Kiranya jerat prostitusi anak bisa dicegah dan lingkaran setan bisa diputus, supaya tidak ada anak yang masuk dalam jerat prostitusi anak. Semoga.
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...