Chronos dan Kairos
Dibutuhkan kewaskitaan untuk mencandra Kairos di tengah ritme Chronos yang menjerat kita
SATUHARAPAN.COM – Di masa pagebluk global Corona banyak orang risau dan bertanya-tanya bagaimana caranya ”menghabiskan waktu”. Tentu saja, hal ini untuk mengusir rasa bosan yang perlahan-lahan menggerogoti saat kita merasa hidup dalam penjara.
Penjara? Iya. Teman saya di Berlin mengingatkan soal itu. Ia bertutur bagaimana kota Berlin menjadi ”penjara raksasa” saat semua institusi, ruang publik, maupun pusat-pusat keramaian resmi ditutup. Hari-hari yang ada kini harus dilewati di apartemen kecil tempat dia tinggal bersama istri dan anak mereka.
Bukankah hari-hari ini kita mulai merasakannya? Memang bukan ”total lockdown”, hanya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Namun, rasanya sama, apalagi ketika kendaraan bermotor tidak boleh lagi keluar dari wilayah Jabotedabek, semua perjalanan kereta api (kecuali commuter line) tidak lagi beroperasi, bahkan perjalanan dengan pesawat terbang pun dihentikan.
Perlahan-lahan, mungkin tanpa kita sadari, sebenarnya tembok-tembok tinggi sudah dibangun. Dan kita harus tinggal di dalamnya—suatu ”penjara raksasa” yang tak kasat mata. Karena itu, tidak heran jika banyak orang jadi tidak betah, lalu mengambil tindakan nekat: berkumpul meratapi ditutupnya restoran junk food McDonald, misalnya, atau berbondong-bondong cari tiket (kalau perlu dengan ”surat bebas COVID-19” palsu) dan segera ingin keluar dari ”penjara”.
Saya tidak tahu apa pilihan Anda untuk ”menghabiskan waktu”. Setiap orang pasti punya pilihannya sendiri. Namun untuk saya, frase ”menghabiskan waktu” itu menarik perhatian. Di situ ada anggapan bahwa waktu seakan memang sesuatu yang dapat dihabiskan, seperti saat kita makan roti, misalnya. Atau alternatif sebaliknya, sebagai sesuatu yang perlahan-lahan menghabisi kita.
Rasanya, menurut saya, alternatif kedua ini yang lebih tepat. Maksud saya, sementara kita berilusi untuk ”menghabiskan waktu” dengan aneka ragam kegiatan, sebenarnya yang terjadi adalah sang waktu itulah yang diam-diam sedang menghabisi kita! Prosesnya berjalan lambat, dari hari ke hari dan sebagian besar tanpa kita sadari, hanya tiba-tiba saja kita terkejut karena sudah berganti bulan, atau bahkan tahun. Nanti, pada suatu titik dalam perjalanan waktu, kita pun akan sungguh-sungguh ”habis”, berhenti pada saat sang ajal menampakkan wajahnya. Dan di situ semuanya pun berakhir.
Mungkin itu alasannya mengapa orang Yunani menamai waktu sebagai Chronos (Χρoνος) yang darinya kita memperoleh kata Chronology. Orang Romawi menggambarkannya sebagai Dewa Cronus yang memakan anak-anaknya sendiri, dan terbang sembari membawa sabit besar untuk menuai hasil tuaian waktunya—yakni kita, ketika sang ajal menjemput. Dan ia dewa mahaperkasa serta seorang tiran yang mahakejam. Tak seorang pun dapat melawan atau mengelak dari sabitnya, saat ia memanen hasil tuaian waktunya. Di hadapannya segala kekuatan sirna, tak lagi berdaya apa-apa untuk menghentikan ayunan sabitnya. Generasi demi generasi yang lahir dari sang waktu tunduk dan habis dilalapnya.
Tentu gambaran itu terlalu muram. Hidup rasanya tak tertanggungkan, jika orang merenungkan bahwa semua jerih upayanya hanya akan habis dimakan Chronos. Mungkin karena alasan itu, orang Yunani menciptakan kata kedua untuk waktu: Kairos (καιρoς). Dan menurut legenda, Kairos adalah anak Chronos, anak sang waktu. Hanya saja ia berbeda sama sekali dari bapaknya.
Sementara orang harus menjalani hidup sehari-hari dari waktu menurut ritme kronologis, dan perlahan-lahan dihabisi oleh Chronos, selalu di dalam setiap titik ada kemungkinan dan kesempatan yang terbuka guna sejenak melepaskan diri dari jeratan waktu. Itulah Kairos. Mungkin hanya sejenak saja, sebelum semuanya kembali ditelan oleh sabitan Chronos. Namun, yang sejenak itu kerap justru menjadi penanda, atau retakan, yang memungkinkan wajah Sang Misteri menampakkan diri.
Hanya saja dibutuhkan kewaskitaan untuk mencandra Kairos di tengah ritme Chronos yang menjerat kita.
Trisno S. Sutanto (peneliti lepas dan aktivis di Paritas Institute, Jakarta)
Editor : Yoel M Indrasmoro
Warga Batuah Serahkan Seekor Trenggiling ke BKSDA
SAMPIT, SATUHARAPAN.COM- Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resor Sampit Kabupaten Kotawaring...