CNBC: Keuangan AirAsia Alami Turbulensi Besar di Indonesia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anak usaha AirAsia di Indonesia yang selama ini masih merugi menghadapi pukulan baru setelah Kementerian Perhubungan memerintahkan perusahaan tersebut menaikkan modal sebesar US$ 225 juta dengan segera.
Hal itu telah mendatangkan keheranan bagi banyak analis karena dinilai sangat mengejutkan. "Tidak ada negara di dunia yang pernah melakukan hal semacam ini," kata Mohshin Aziz, analis industri penerbangan di Maybank-Kim Eng, sebagaimana dilansir oleh CNBC.
Kemenhub telah memerintahkan 13 penerbangan mengumpulkan dana untuk mencapai posisi ekuitas yang positif akibat kekhawatiran ekuitas negatif perusahaan-perusahaan tersebut yang dinilai akan mempengaruhi pengawasan keamanan penerbangan.
Menurut data yang diperoleh Kemenhub berdasarkan laporan keuangan yang wajib diserahkan 30 April 2015 dan diperpanjang hingga 30 Juni 2015, ada 13 maskapai dengan ekuitas negatif atau modal negatif. Diantaranya lima maskapai niaga berjadwal, tiga maskapai yang melayani kargo dan lima maskapai yang melayani carter.
Maskapai-maskapai dengan ekuitas negatif tersebut adalah Indonesia AirAsia (IAA), Batik Air, Cardig Air, Transwisata Prima Aviation, Eastindo Services, Survai Udara Penas, Air Pasifik Utama dan Johnlin Air Transport, Asialink Cargo Airline, Ersa Eastern Aviation, Tri MG Intra Airlines, Nusantara Buana Air dan Manunggal Air Services.
Dari 13 maskapai tersebut, hanya AirAsia yang merupakan perusahaan publik. Dalam rangka keterbukaan informasi kepada Bursa Malaysia, Selasa (7/7) perusahaan yang 49 persen sahamnya dimiliki investor Indonesia itu membenarkan menerima surat dari Kemenhub yang mengharuskan mereka memenuhi keharusan modal positif pada 31 Juli.
Itu berarti, AirAsia harus menyetor sedikitnya Rp 3 triliun (US$ 224.800.000) sebelum batas waktu yang ditetapkan tersebut.
Saham AirAsia turun sebanyak 13,4 persen dalam perdagangan di bursa Malaysia Rabu (8/7), jatuh ke tingkat terendah sejak 2010, ketika terjadi krisis utang Eropa.
"Tidak ada siapa pun yang dapat memenuhi hal itu dengan tenggat waktu seperti ini," kata Aziz.
"Ini adalah bulan suci. Muslim baru pergi liburan minggu depan. Anda tidak bisa mendapatkan kesepakatan bulan ini, apalagi memperoleh Rp 3 triliun untuk mematuhi peraturan tersebut."
AirAsia tidak memberi komentar ketika dimintai konfirmasi oleh CNBC. Konfirmasi dari Kemenhub juga belum diperoleh.
"IAA berisiko kehilangan lisensi," kata Raymond Yap, seorang analis di CIMB, mengatakan dalam sebuah catatan Selasa (7/7).
"Jika keputusan itu diberlakukan, akan sangat negatif bagi AirAsia karena IAA mungkin harus menunda atau menutup secara permanen operasinya."
Walaupun perusahaan induk AirAsia dinilai mudah mengumpulkan dana untuk memenuhi peraturan Kemenhub, paling tidak diperlukan waktu dua bulan oleh IAA untuk mempersiapkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) demi memperoleh persetujuan transfer dana yang diperlukan.
"Kami yakin AriAsia secara aktif melobi pemerintah Indonesia untuk tidak menerapkan peraturan itu, yang akan berakibat pada hilangnya 2.000 lapangan kerja," kata Yap.
"Paling tidak, IAA dapat diberikan lebih banyak waktu untuk memenuhi putusan itu. Sebuah perombakan kabinet mungkin sebelum akhir Juli belum dapat memberikan harapan bahwa keputusan itu akan ditangguhkan."
Aziz juga mengharapkan peraturan tersebut dibatalkan.
IAA dan Batik Air adalah yang terbesar dari 13 operator yang terkena peraturan Kemenhub, menguasai sekitar 10 persen dari kapasitas dalam negeri dan sekitar 23 persen dari kapasitas rute Indonesia-Asia Tenggara pada semester pertama tahun ini, menurut laporan JPMorgan pada Selasa (7/7).
Obituari: Mantan Rektor UKDW, Pdt. Em. Judowibowo Poerwowida...
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Mantan Rektor Universtias Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Dr. Judowibow...